KERUKUNAN DALAM IMAN GEREJA
MAKALAH
Disusun untuk Memenuhi Tugas UAS
Agama Kristen di Indonesia
Dosen: Moh. Nuh, M.A
Oleh
Agus Berani
NIM: 11140321000035
PRODI PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2016
A. Pendahuluan
Setiap Agama baik agama samawi
maupun agama ardhi pasti mengajarkan perdamaian dan kerukunan. Konsep
ini mejadi sesuatu yang sangat serius di dalam setiap agama demi menciptakan
rasa aman dan damai sesuai dengan cinta kasih yang dibawa oleh setiap agama
tersebut. Dalam Islam, pesan perdamaian sangat kuat sekali. Sebab, arti kata
islam sendiri adalah kesalamatan dan perdamaian. Pada ajaran Hindu dikenal
ucapan om swasty astu, artinya semoga selamat atas karunia Tuhan Yang
Maha Esa. Selanjutnya dalam agama Buddha dikenal dengan sebutan namo
buddhaya, artinya terpujilah Buddha. Buddha merupakan manusia yang
tercerahkan yang cinta damai. Artinya, dengan memuji Buddha sebenarnya umat
Buddha ingin mentransmisikan rasa cinta damai dalam dirinya dan menyampaikan
pada orang lain. Pada agama Konghucu ucapan salam ialah gong zhu sambil
diikuti dengan sikap pai (tangan kanal dikepal dengan ditutupi tangan
kiri dan diangkat ke dagu untuk yang sebaya).
Kemudian dalam tradisi Kristiani,
makna salam yang diverbalkan dengan istilah shalom merupakan pesan damai
yang dismpaikan semua orang dalam perjalanan. Makna perdamain yang terdapat
dalam tradisi Kristiani ini kemudian menjadi pesan utama dalam mencapai kerukunan
antar umat beragma sesuai yang angkat penulis bahas dalam makalah ini.
B. Apakah Agama Menjadi Masalah
Bagi orang-orang yang menerima tujuan
dari kekerasan dapat dibenarkan oleh agama. Sekarang dimana pun nyaris dapat
menjadi korban destruktif yang mejadikan dunia ini terbelah. Korban yang
diakibatkan dari kefanatikannya dalam menganut suatu agama (fanatik buta),
mereka tidak lagi memiliki batas-batas yang dapat diprediksi atau batas
geografis tertentu yang penting agama mereka tetap eksis. Kemudian ada yang
tidak sepaham dengan mereka langsung dikecam bahkan tidak segan-segan
diperangi.
Potensi kehancuran masal bukanlah hal
yang baru, melainkan kita tengah berada dalam situasi yang baru. Kemungkinan
bahwa semangat keagamaan akan menghasut atau akan menjadi katalis kehancuran
yang tak terperi bukanlah hal yang dibuat-buat. Sjarah menunjukkan bahwa
sejumlah pemimpin atau komunitas yang menganut paham thelogis destruktif dapat
dan bahkan ingin melakukan tindak kekerasan
atas nama Tuhan dan keyakinan mereka. Peradebatan terkini tentang
globlisasi versus tribalisme atau
perbenturan peradaban memunculkan pertanyaan penting tentang masa depan
peradaban manusia. Konflik berbasis agama pada dasarnya menggambarkan perdebatan semacam itu. Akhirnya hal semacam
ini memunculkn sebuah pertanyaan, “apakah agama menjadi masalah?”[1]
Banyak orang beragama yang mengambil
jalan tengah dalam menangani masalah apakah agama itu suatu masalah. Mereka
menyatakan agama bukalah masalah, tetapi oranglah yang menimbulkan masalah.
Memandang orang, dan bukan agama sebagai masalah mengandung manfaat karena,
pada dasarnya, sikap dan tindakan oranglah yang dipermasalahkan. Jika instusi
dan ajaran tidak luwes dan tidak memiliki sistem chek and balance, hal
itu sungguh mempunyai kesempatan untuk tumbuh menjadi bagian terbesar dari
masalah. Seperti struktur institusi lain, beberapa agama tidak lagi memenuhi
tujuan mereka seperti semula ditetapkan.
Apakah agama itu suatu masalah? “Ya” dan
“Tidak”. Jawaban atas pertanyaan itu terletak pada bagaimana orang mmemahami
hakikat agama. Pada inti orientasi dan pencarian agama, manusia menemukan makna
dan harapan. Dalam asal muasal inti ajaran mereka, agam bisa jadi mulia, namun
cara-cara agama-agama itu berkembang bisa saja jauh dari ideal. Umat terlalu
sering menjadikan pemimpin, doktrin religius, dan kebutuhan untuk
mempertahankan struktur institusional sebagai kendaraan dan justifikasi bagi
perilaku yang tak dapat diterima. Apa pun pandangan pribadi seseorang tentang
hakikat dan nilai agama, ia tetap merupakan realitas yang berpengaruh dan
selalu hadir. Orang beriman yang bijak harus mencoba belajar lebih banyak
tentang resiko dan janji yang terkandung dalam fenomena kemanusiaan global yang
kita sebut agama.[2]
C. Kerukunan dalam Iman Kristen
Pandangan inklusivis mengakui
kehadiran dan aktivitas penyelamatan yang dilakukan pada semua tradisi agama
dan wahyu Tuhanyang melekat pada Yesus Kristus. Banyak orang-termasuk umat
Katolik-cukup terkejut mengetahui bahwa Gereja Katolik Roma secara resmi
menganut suatu teologi inklusivis. Sebanyak 3 dari 16 dokumen resmi Konsili
Vatikan Kedua, suatu pertemuan global yang dilakukan pada pertengahan 1960-an,
secara eksplisit berbicara tentang hubungan antariman. Dokumen yng berbicara
langsung tentang masalah ini adalah “Deklarasi tentang Hubungan Gereja dengan
Agama-Agama non-Kristen” (Nostra Aetate). Disebarluaskan oleh Paus
Paulus VI pada 28 Oktober 1965, dokumen ini mengemukakan tentang satu
pendekatan baru terhadap agama-agama non-Kristen yang dalam hal ini berkaitan
dengan kaum Muslim:
Gereja juga sagat menghargai kaum Muslimin. me eka
menyembah Tuhan Yang Esa, Hidup dan Ada dengan sendirinya, Maha Pengasih dan
Maha Kuasa...Mereka berusaha menyerakan diri mereka tanpa syarat kepada
perintah-perintah tersembunyi Tuhan, sebagaiman Ibrahim menyerakan dirinya
kepada rencana-rencana Tuhan...: mereka menanti Hari Pembalasan dan pahala dari
Tuhan setelah kebangkitan dari Alam Kubur. Oleh karena itu mereka sangat
menghargai kehidupan yang taat dan menyembah Tuhan.
Teks di atas menyeru kepada umat Kristen
dan umat Islam agar melupakan perselisihan yang terjadi pada abad sebelumnya,
dalam rangka menegakkan dan memajukan perdamaian, kebebasan, keadilan sosial,
dan nilai-nilai moral. Teks lain yang diadopsi oelh Konsili Vatikan Kedua
adalah tentang “Cahaya bagi orang-orang non-Kristen” (Lumen Gentium), menganut
suatu pandangan bahwa keselamatan dimungkinkan bagi orang-orang di luar greja.
Hampir dasawarsa sejak Konsili Vatikan
II, Gereja Katolik telah melakukan berbagai program tentang dialog antariman hingga
publikasi-yang didesain untuk mengimplementasikan semangat pengakuan tersebut.
Dalam suatu acara besar pada Oktober 1986, Paus Paulus Yohanes II mengundang
banyak pemimpin agama ke Asisi untuk menghadiri Hari Doa untuk Perdamaian
Dunia. Teologi inklusivis Paus begitu tampak ketika ia berpidato dihadapan
gereja-gereja Roma setelah acara tersebut.
Fatwa bahwa kita berkumpul bersama di
Asisi untuk berdoa, berpuasa, dan berjalan dalam keheningan-dan ini, untuk
mendukung perdamaian yang selalu rentan dan terancam, myngkin kini dan
selamanya-telah menjadi tanda nyata akan kesatuan yang begitu mendalam dari
mereka yang berusaha menemukan nilai transenden dan nilai spiritual yang
menjawab pertanyaan besar bagi hati manusia di dalam setiap agama-agama di
dunia, terlepas dari perbedaan yang ada...Hari Asisi, yang menunjukkan Gereja
Katolik yang saling bergandengan tangan dengan saudara-saudara Kristen lain,
dengan saudra-saudara dari agama-agama lain, merupakan ekspresi nyata dari
pernyataan Konsili Vatikan II. Bersama dengan hari ini, dengan cara ini, dengan
rahmat Tuhan, kita telah berhasil menghasilkan dan merealisasikan keyakinan
kita bersama yang diajarkan oleh Konsili tentang kesatuan asal dan tujuan
keluarga manusia, serta tentang makna dan nilai agama-agama non-Kristen-tanpa
bayangan kebingungan atau singkretisme sedikit pun.[3]
D.
Kesimpulan
Agama yang
luhur sudah tentu mencakup himbauan moralitas mengenai pernyataan tentang cinta
kasih yang diajarkan olehb gereja melalui iman Kristen. Hal ini membawa umat
Kristen kepada masalah kepercayaan, karena inilah upaya dari orang Kristen
dahulu untuk memahami secara konsepsional kejadian yang menimbulkan perubahan
kehidupan sekaligus dirasakan dalam dua arah yakni, secara lahiriah ia menuju
perbuatan murah hatidisertai cinta kepada sesama manusia, sedangkan secara
intlektual ia menjurus kepada kepercayaan.[4]
DAFTAR
PUSTAKA
Kimball, Charles. Kala Agama Menjadi Bencana,
Bandung: PT Mizan Pustaka, 2003.
Smith, Huston, Agama-Agama Manusia,
Jakarta: Yayasan Obor indonesia, 2001.
[1] Charless
Kimball, When Religion Becomes evil, (HarperSanFrancisco: 2002)
ditejemahkan oleh Nuhardi, Kala Agama Menjadi Bencana, (Bandung: PT
Mizan Pustaka, 2003) hal. 63-64.
[2] Charless
Kimball, When Religion Becomes Evil,...hal. 72-73
[3] Charless
Kimball, When Religion Becomes Evil, hal. 297-300.
[4]
Huston Smith, The World Religions, edisi revisi (San Francisco:
HarperSanFrancisco, 1991), hal. 383. Buku ini semula berjudul The Religion
of Man, dipublikasikan pertama kali
pada tahun 1958. Huston Smith,Why Religion Matters: The Fate of the Human
Spirit in an Age of Disbelief (San Francisco: HarperSanFrancisco,
2001)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar