Rabu, 22 Juni 2016

Makna Perdamaian dan Kerukunan dalam Iman Gereja

KERUKUNAN DALAM IMAN GEREJA
MAKALAH
Disusun untuk Memenuhi Tugas UAS
Agama Kristen di Indonesia



 Dosen: Moh. Nuh, M.A

Oleh
Agus Berani
NIM: 11140321000035





PRODI PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2016
A.  Pendahuluan
          Setiap Agama baik agama samawi maupun agama ardhi pasti mengajarkan perdamaian dan kerukunan. Konsep ini mejadi sesuatu yang sangat serius di dalam setiap agama demi menciptakan rasa aman dan damai sesuai dengan cinta kasih yang dibawa oleh setiap agama tersebut. Dalam Islam, pesan perdamaian sangat kuat sekali. Sebab, arti kata islam sendiri adalah kesalamatan dan perdamaian. Pada ajaran Hindu dikenal ucapan om swasty astu, artinya semoga selamat atas karunia Tuhan Yang Maha Esa. Selanjutnya dalam agama Buddha dikenal dengan sebutan namo buddhaya, artinya terpujilah Buddha. Buddha merupakan manusia yang tercerahkan yang cinta damai. Artinya, dengan memuji Buddha sebenarnya umat Buddha ingin mentransmisikan rasa cinta damai dalam dirinya dan menyampaikan pada orang lain. Pada agama Konghucu ucapan salam ialah gong zhu sambil diikuti dengan sikap pai (tangan kanal dikepal dengan ditutupi tangan kiri dan diangkat ke dagu untuk yang sebaya).
          Kemudian dalam tradisi Kristiani, makna salam yang diverbalkan dengan istilah shalom merupakan pesan damai yang dismpaikan semua orang dalam perjalanan. Makna perdamain yang terdapat dalam tradisi Kristiani ini kemudian menjadi pesan utama dalam mencapai kerukunan antar umat beragma sesuai yang angkat penulis bahas dalam makalah ini.








B.  Apakah Agama Menjadi Masalah         
       Bagi orang-orang yang menerima tujuan dari kekerasan dapat dibenarkan oleh agama. Sekarang dimana pun nyaris dapat menjadi korban destruktif yang mejadikan dunia ini terbelah. Korban yang diakibatkan dari kefanatikannya dalam menganut suatu agama (fanatik buta), mereka tidak lagi memiliki batas-batas yang dapat diprediksi atau batas geografis tertentu yang penting agama mereka tetap eksis. Kemudian ada yang tidak sepaham dengan mereka langsung dikecam bahkan tidak segan-segan diperangi.
       Potensi kehancuran masal bukanlah hal yang baru, melainkan kita tengah berada dalam situasi yang baru. Kemungkinan bahwa semangat keagamaan akan menghasut atau akan menjadi katalis kehancuran yang tak terperi bukanlah hal yang dibuat-buat. Sjarah menunjukkan bahwa sejumlah pemimpin atau komunitas yang menganut paham thelogis destruktif dapat dan bahkan ingin melakukan tindak kekerasan  atas nama Tuhan dan keyakinan mereka. Peradebatan terkini tentang globlisasi versus tribalisme  atau perbenturan peradaban memunculkan pertanyaan penting tentang masa depan peradaban manusia. Konflik berbasis agama pada dasarnya menggambarkan  perdebatan semacam itu. Akhirnya hal semacam ini memunculkn sebuah pertanyaan, “apakah agama menjadi masalah?”[1]
       Banyak orang beragama yang mengambil jalan tengah dalam menangani masalah apakah agama itu suatu masalah. Mereka menyatakan agama bukalah masalah, tetapi oranglah yang menimbulkan masalah. Memandang orang, dan bukan agama sebagai masalah mengandung manfaat karena, pada dasarnya, sikap dan tindakan oranglah yang dipermasalahkan. Jika instusi dan ajaran tidak luwes dan tidak memiliki sistem chek and balance, hal itu sungguh mempunyai kesempatan untuk tumbuh menjadi bagian terbesar dari masalah. Seperti struktur institusi lain, beberapa agama tidak lagi memenuhi tujuan mereka seperti semula ditetapkan.
       Apakah agama itu suatu masalah? “Ya” dan “Tidak”. Jawaban atas pertanyaan itu terletak pada bagaimana orang mmemahami hakikat agama. Pada inti orientasi dan pencarian agama, manusia menemukan makna dan harapan. Dalam asal muasal inti ajaran mereka, agam bisa jadi mulia, namun cara-cara agama-agama itu berkembang bisa saja jauh dari ideal. Umat terlalu sering menjadikan pemimpin, doktrin religius, dan kebutuhan untuk mempertahankan struktur institusional sebagai kendaraan dan justifikasi bagi perilaku yang tak dapat diterima. Apa pun pandangan pribadi seseorang tentang hakikat dan nilai agama, ia tetap merupakan realitas yang berpengaruh dan selalu hadir. Orang beriman yang bijak harus mencoba belajar lebih banyak tentang resiko dan janji yang terkandung dalam fenomena kemanusiaan global yang kita sebut agama.[2]

C.  Kerukunan dalam Iman Kristen
       Pandangan inklusivis mengakui kehadiran dan aktivitas penyelamatan yang dilakukan pada semua tradisi agama dan wahyu Tuhanyang melekat pada Yesus Kristus. Banyak orang-termasuk umat Katolik-cukup terkejut mengetahui bahwa Gereja Katolik Roma secara resmi menganut suatu teologi inklusivis. Sebanyak 3 dari 16 dokumen resmi Konsili Vatikan Kedua, suatu pertemuan global yang dilakukan pada pertengahan 1960-an, secara eksplisit berbicara tentang hubungan antariman. Dokumen yng berbicara langsung tentang masalah ini adalah “Deklarasi tentang Hubungan Gereja dengan Agama-Agama non-Kristen” (Nostra Aetate). Disebarluaskan oleh Paus Paulus VI pada 28 Oktober 1965, dokumen ini mengemukakan tentang satu pendekatan baru terhadap agama-agama non-Kristen yang dalam hal ini berkaitan dengan kaum Muslim:
Gereja juga sagat menghargai kaum Muslimin. me eka menyembah Tuhan Yang Esa, Hidup dan Ada dengan sendirinya, Maha Pengasih dan Maha Kuasa...Mereka berusaha menyerakan diri mereka tanpa syarat kepada perintah-perintah tersembunyi Tuhan, sebagaiman Ibrahim menyerakan dirinya kepada rencana-rencana Tuhan...: mereka menanti Hari Pembalasan dan pahala dari Tuhan setelah kebangkitan dari Alam Kubur. Oleh karena itu mereka sangat menghargai kehidupan yang taat dan menyembah Tuhan.
       Teks di atas menyeru kepada umat Kristen dan umat Islam agar melupakan perselisihan yang terjadi pada abad sebelumnya, dalam rangka menegakkan dan memajukan perdamaian, kebebasan, keadilan sosial, dan nilai-nilai moral. Teks lain yang diadopsi oelh Konsili Vatikan Kedua adalah tentang “Cahaya bagi orang-orang non-Kristen” (Lumen Gentium), menganut suatu pandangan bahwa keselamatan dimungkinkan bagi orang-orang di luar greja.
       Hampir dasawarsa sejak Konsili Vatikan II, Gereja Katolik telah melakukan berbagai program  tentang dialog antariman hingga publikasi-yang didesain untuk mengimplementasikan semangat pengakuan tersebut. Dalam suatu acara besar pada Oktober 1986, Paus Paulus Yohanes II mengundang banyak pemimpin agama ke Asisi untuk menghadiri Hari Doa untuk Perdamaian Dunia. Teologi inklusivis Paus begitu tampak ketika ia berpidato dihadapan gereja-gereja Roma setelah acara tersebut.
       Fatwa bahwa kita berkumpul bersama di Asisi untuk berdoa, berpuasa, dan berjalan dalam keheningan-dan ini, untuk mendukung perdamaian yang selalu rentan dan terancam, myngkin kini dan selamanya-telah menjadi tanda nyata akan kesatuan yang begitu mendalam dari mereka yang berusaha menemukan nilai transenden dan nilai spiritual yang menjawab pertanyaan besar bagi hati manusia di dalam setiap agama-agama di dunia, terlepas dari perbedaan yang ada...Hari Asisi, yang menunjukkan Gereja Katolik yang saling bergandengan tangan dengan saudara-saudara Kristen lain, dengan saudra-saudara dari agama-agama lain, merupakan ekspresi nyata dari pernyataan Konsili Vatikan II. Bersama dengan hari ini, dengan cara ini, dengan rahmat Tuhan, kita telah berhasil menghasilkan dan merealisasikan keyakinan kita bersama yang diajarkan oleh Konsili tentang kesatuan asal dan tujuan keluarga manusia, serta tentang makna dan nilai agama-agama non-Kristen-tanpa bayangan kebingungan atau singkretisme sedikit pun.[3]
D.    Kesimpulan
 Agama yang luhur sudah tentu mencakup himbauan moralitas mengenai pernyataan tentang cinta kasih yang diajarkan olehb gereja melalui iman Kristen. Hal ini membawa umat Kristen kepada masalah kepercayaan, karena inilah upaya dari orang Kristen dahulu untuk memahami secara konsepsional kejadian yang menimbulkan perubahan kehidupan sekaligus dirasakan dalam dua arah yakni, secara lahiriah ia menuju perbuatan murah hatidisertai cinta kepada sesama manusia, sedangkan secara intlektual ia menjurus kepada kepercayaan.[4]














DAFTAR PUSTAKA
Kimball, Charles. Kala Agama Menjadi Bencana, Bandung: PT Mizan Pustaka, 2003.
Smith, Huston, Agama-Agama Manusia, Jakarta: Yayasan Obor indonesia, 2001.


[1] Charless Kimball, When Religion Becomes evil, (HarperSanFrancisco: 2002) ditejemahkan oleh Nuhardi, Kala Agama Menjadi Bencana, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2003) hal. 63-64.
[2] Charless Kimball, When Religion Becomes Evil,...hal. 72-73
[3] Charless Kimball, When Religion Becomes Evil, hal. 297-300.
[4] Huston Smith, The World Religions, edisi revisi (San Francisco: HarperSanFrancisco, 1991), hal. 383. Buku ini semula berjudul The Religion of  Man, dipublikasikan pertama kali pada tahun 1958. Huston Smith,Why Religion Matters: The Fate of the Human Spirit in an Age of Disbelief (San Francisco: HarperSanFrancisco, 2001)

Aliran Mahayana Dalam Agama Buddha




ALIRAN MAHAYANA DALAM AGAMA BUDDHA
MAKALAH
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Agama Buddha




Dosen: Syaiful Azmi, M.A

Disusun Oleh:
Agus Berani: 11140321000035


PRODI PERBANINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2016

·         Sejarah Mahayana
            Mahayana adalah suatu gerakan pembaharuan dalam agama Buddha atau gerakan pembaharuan yang lahir setelah gerakan Hinayana. Arti dari kata Mahayana berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya “Kendaraan Besar”. Mahayana lahir pada abad ke-1 di India yang dipelopori oleh Buddhaghosa atau Aspaghosa.[1] Perkembangan aliran mahayana dapat dibagi menjadi tiga tahapan, yakni: priode awal, periode pertengahan dan periode akhir.
1.      Periode awal Mahayana
Pada periode ini, Mahayana dimulai pada abad ke-1 SM hingga abad ke-3 M. Para ahli menganggap bahwa ajaran-ajaran Mahayana yang timbul saat ini mencerminkan ajaran paling murni dan paling mencerminkan semangat sejati Buddha Syakyumi yang menggabungkan keyakinan dan praktek dharma kemurnian tersebut nampak pada sutra dan karya–karya tulis keagamaan yang dihasilkan saat itu.
Sutra-sutra Mahayana awal mencerminkan pemikiran baru mengenai sifat sejati kebudhaan, praktek Boddhisatya, dan konsep kekosongan (shunyata) yang meliputi segala sesuatu. Contoh sutra-sutra Mahayana yang tertua adalah Sutra Prajnaparamita (sutra kebijaksanaan kesempurnaan).
2.      Periode pertengahan Mahayana
Periode ini berlangsung sekitar abad ke-3 M hingga pertengahan abad ke-7 M. Pada masa ini terjadilah perkembangan intlektual yang sangat maju di kalangan umat non Buddhis, khususnya umat Hinduisme. Untuk mengimbangi hal tersebut maka Buddhisme terutama Mahayana mengembangkan suatu landasan filosofis dengan menggunakan logika yang kuat, sehingga pada zaman ini pembahasan mengenai filsafat semakin berkembang.
Ajaran- ajaran filosofis yang dikembangkan pada saat itu adalah mengenai aspirasi tingkat kecerahan atau pikiran Boddhi (Boddhicitta) yakni benih-benih kebudahaan yang terdaat dalam setiap makhluk sehingga memungkinkan dari masing-masing makhluk tersebut bisa mencapai tingkat kebuddhaan.
3.      Periode akhir Mahayana
Berlangsung dari pertengahan abad ke-7 M hingga abad ke-13 M perkembangan aliran ini mulai terlihat. Hal tersebut sesuai dengan keberhasilannya mengubah gagasan-gagasan yang rumit ke dalam simbol-simbol untuk menebus ke dalam kebenaran Buddha Dharma sehingga lebih mudah untuk dipahami.  Salah satu bentuk dari simbol tersebut adalah mudra yaitu sikap tangan saat melakukan sadhana (ritual vajrayana).[2]

·         Ajaran Mahayana
Terdapat dua kata yang seolah-olah menjadi ciri khusus bagi ajaran Mahayana adalah Boddhisattwa dan Sunyata karena kedua kata itu hampir terdapat dalam setiap halaman tulisan-tulisan Mahayana.[3]
Secara harfiah Boddhisattwa berarti orang yang hakikat atau tabiatnya adalah boddhi (hikmat) yang sempurna. Sebelum Mahayana timbul, pengertian Boddhisattwa sudah dikenal dan merujuk kepada Buddha Gautama, sebelum ia menjadi Buddha. Di situ Boddhisattwa berarti orang yang sedang dalam perjalanan untuk mencapai hikmat yang sempurrna, yaitu orang yang akan menjadi Buddha. Jadi semula Boddhisattwa adalah sebuah gelar bagi tokoh yang ditetapkan untuk menjadi Buddha. Sedangkan di dalam Mahayana Boddhisattwa adalah orang yang sudah melepaskan dirinya dan dapat menemukan sarana untuk menjadikan benih pencerahan tumbuh dan menjadi matang pada diri orang tersebut. Seorang Boddhisattwa bukan hanya merenungkan kesensaraan dunia saja, melainkan ikut merasakannya dengan berat.[4] Oleh karenanya, ia sudah mengambil keputusan untuk mempergunakan segala aktivitasnya sekarang dan yang akan datang untuk menyelamtkan dunia. Karena kasihnya pada dunia maka segala kebajikannya dipergunakan untuk menolong orang lain. Hal inilah yang menjadi cita-cita tertinggi dalam ajaran Mahayana adalah menjadi Boddhisattwa.
Kemudian pengertian Sunyata menurut istilahnya adalah kosong (tidak ada yang mendiaminya) yang artinya bahwa tiada pribadi yang mendiami orang. Segala sesuatu adalah kosong, sehingga bisa dikatakan tidak da yang diinginkan atau dicari. Bukan hanya dunia yang kosong melainkan Nirwana bahkan Dharma juga kosong. Kebenaran tertinggi adalah kosong, oleh karenanya tidak bisa dijadikan sasaran kepercayaan. Yang Mutlak tak dapat dipegang, seandainya dapat dipegang, tak dapat dikenalnya, sebab Yang Mutlak tidak memiliki ciri-ciri yang membedakannya dengan yang lain.[5]
Di dalam perkembanganya, Mahayana mengalami berbagai macam pengaruh, diantaranya dari gerakan Bhakti (penyembahan pribadi yang berdasarkan kasih kepada dewa yang disembah yang digambarkan dalam bentuk manusia). Dari sinilah, Mahayana melahirkan sebuah ajaran tentang banyak Buddha, yang diuraikan seara mitologis.
Ajaran tentang banyak Buddha ini dijabarkan dari ajaran tentang lima skandha atau lima unsur yang menyusun hidup manusia. Hal yang pertama kali diajarkan adalah bahwa manusia terdiri dari lima skandha, yaitu: rupa (tubuh), wedana (perasaan), samjnha (pengamatan), samskara (kehendak, keinginan), dan wijana (kesadran). Ajaran ini diterapkan terhadap diri Buddha sendiri. Diajarkan, bahwa Buddha juga terdiri dari lima skandha, dan tiap skandha adalah seoang tokoh Buddha, yang disebut Tathagata. Kelima Tathagata ialah Wairoscana (Yang Bersinar), Aksobhya (Yang Tenang), Ratnasambhawa (Yang dilahirkan dari Permata), Amitabha (Terang yang Kekal), Amoghasiddhi (Keuntungan yang tak binasa). Para Tathagata ini berbeda sekali keadaannya dengan Budha yang biasa. Para Tathagata adalah Buddha senantiasa, tidak pernah menjadi manusia, sedang Buddha biasa menjadi manusia.
Perkembangan lebih lanjut bahwa Tathagata itu dihubungkan dengan penjuru alam. Kelima Tathagata itu bersama-sama membentuk tubuh alam semesta. Kemudian para tokoh Tathagata yakni Akshobya dipandang berkuasa di Sorga sebelah timur, Ratnasambhawa di selatan, Amitabha di barat, Amoghasiddhi di utara, dan Wairocana di tengah-tengah langit.
Demikianlah, Di dalam Mahayana, Buddha menjadi suatu makhluk dari golongan yang lebih tinggi, jauh diatas para manusia. Meskipun ia tidak diapandang sebagai Tuhandalam arti yang sebenarnya, tetapi setidak-tidaknya ia dianggap mempunyai sifat luar biasa dan Ia makin menjadi objek pemujaan dan penyembahan.
Buddha Mahayana memandang diri dia sendiri sebagai bagian dari tradisi Buddha saat ini dengan mengembangkan Buddha surga dan Boddhisattwa yang berfungsi sebagai dewa untuk membimbing para pengikutnya menuju jalan keselamatan. Ketika penganut agama Buddha Mahayana melakukan meditasi atau bersemedi, dia membayangkan bahwa Boddhisattwa duduk bersamanya dalam meditasi tersebut. Pada saat inilah dia dapat mengkonsentrasikan dirinya dalam melaksanakan meditasi. Konsentrasi dalam meditasi sangat penting, dan tanpa itu biasanya tujuan meditasi tidak akan terwujud denga baik.
Buddha yang berfungsi sebagai dewa pada zaman sekarang ini adalah Amitabha atau Amida. Ia memerintah di dalam surganya Sukhawati di sebelah barat. Sebgai juru selamatnya atau Dhyani Boddhisattwanya adalah Awalokiteswara, sedang Guru atau utusannya adalah Gautama. Akhirnya, Nirmanakaya adalah dataran Buddha yang tampak mengalir atau dipatulkan dari Sambhogakaya. Tubuh ini ditampakkan oleh Sakyamuni atau Gautama, setelah ia menjadi Buddha
Demikianlah penjelasan tentang aliran Mahayana, walaupun terdapat banyak pembagian tentang Buddha, akan tetapi hakikat dari Buddha yang sebenarnya adalah pencerahan.




DAFTAR PUSTKA
Hadwijono, Harun. Agama Hindu dan Budha: Jakarta, Gunung Mulia, Cet. 1, 2010.
Taniputera, Ivan. Ehipassiko Theravada-Mahayana Sutdi Banding Budhisme Aliran Selatan dan Utara: Yogyakarta, Suwung, Cet. 1, 2003.


[1] Ivan Taniputera, Ehipassiko Theravada-Mahayana Sutdi Banding Budhisme Aliran Selatan dan Utara (Yogyakarta: Suwung, 2003), hal. 7.
[2] I Ivan Taniputera, Ehipassiko Theravada-Mahayana Sutdi Banding Budhisme Aliran Selatan dan Utara..., hal. 7-10
[3] Harun Hadwijono, Agama Hindu dan Buddha, (Jakarta: Gunung Mulia, 2010), hal. 91-92.
[4] Harun Hadwijono, Agama Hindu dan Buddha..., hal. 93.
[5] Harun Hadwijono, Agama Hindu dan Buddha..., hal. 93-96         

Rabu, 15 Juni 2016

SUKU SAMAWA PULAU SUMBAWA NTB

A.    Pendahuluan
Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang kaya akan budaya dan daerah pariwisata yang tersebar dari sabang sampai merauke. Keragaman budaya yang dimiliki menjadikan Indonesia salah satu objek wisata seluruh dunia. Hal tersebut didukung oleh suasana dan kondisi alam serta masyarakat penghuninya yang memilki budaya dengan karakteristik yang unik dan beraneka ragam antara pulau yang satu dengan yang lainnya. Salah satunya keindahan alam yang ada di Nusa Tenggara Barat “NTB” yang kaya akan kultur atau budaya masyarakat yang mendiaminya yang masih begitu kental dengan adat istiadat yang dianut sejak zaman nenek moyang terdahulu.
Sama halnya dengan daerah-daerah lain di Nusa Tenggara Barat, daerah Sumbawa juga memiliki kebudayaan yang menjadi ciri khas masyarakat Sumbawa. Masyarakat Sumbawa biasa di sebut dengan “Tau Samawa”. Para tau Samawa pada zaman dahulu memiliki berbagai macam kebudayaan dan kesenian yang akan dibahas dalam makalah ini.

B.     Sejarah
Tau samawa asal kata dari Tau yang berarti orang, dan Samawa adalah nama lain dari Sumbawa. jadi Tau samawa adalah orang yang menempati atau masyarakat yang menempati pulau sumbawa,tau samawa juga adalah sebuah suku yang mendiami pulau sumbawa. Samawa adalah sebutan yang biasa digunakan oleh penduduk lokal untuk Sumbawa. Berubahnya kata samawa menjadi Sumbawa lebih dipengaruhi oleh penjajahan belanda pada masa lampau tepatnya pada jaman kolonial Belanda. Penjajah belanda meyebut Samawa dengan kata Zhambava dan seiring waktu dan juga penyebutan dengan lidah indonesia Zhambava menjadi sumbawa, sama halnya dengan daerah-daerah lain di Indonesia seperti Jawa menjadi Java.
Banyak versi yang menyebutkan asal mula suku sumbawa (tau samawa) salah santunya ada yang menyebutkan bahwa tau samawa (suku Sumbawa) berasal dari Gowa,makassar yang dibuang oleh kerajaan Gowa. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya kesamaan tradisi, budaya dan adat istiadat. Senjata tradisional, pakaian adat dan lain-lain. Bahkan karakter yang keras jugas masih bisa ditemui. [1]
Penduduk asli Sumbawa berpindah dari Semenanjung Sanggar ketempat pemukimannya yang baru yaitu Sumbawa. Penduduk Sumbawa yang bermukim lebih awal dan selanjutnya menjadi penduduk asli kemudian berpindah ke wilayah pedalaman dataran tinggi pegunungan Ropang, Lunyuk dan bagian selatan Batu Lanteh untuk mencari hunian baru. saat itu Tau Samawa masih menganut aliran animisme yang cenderung beranggapan bahwa wilayah pegunungan memiliki kekuatan yang dapat melindungi mereka.
Sumbawa atau Semawa mendiami Kabupaten Sumbawa di Pulau Sumbawa, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Jumlah populasinya sekitar 190.000 jiwa. Mereka menggunakan bahasa Semawa yang terdiri atas beberapa dialek, yaitu dialek Semawa, Semawa Taliwang, Semawa Baturotok atau Batulante, Ropang Suri, Selesek, Lebah, Dodo, Jeluar, Tanganam, Geranta dan Jereweh. Dalam kehidupan sehari-hari dikenal bentuk bahasa halus dan bahasa kasar.

Gambar 1.1 Peta Pulau Sumbawa
(Sumber: http://www.mataram.bpk.go.id/wp-content/uploads/2012/02/peta.jpg)

    Sedikit refrensi tentang ini. Sejarah Sumbawa masih diyakini ada pada buku berjudul “Sumbawa Pada Masa Lalu”, karya Lulu A. Manca. Dalam buku Sumbawa Pada Masa Lalu tertulis bahwa Van der Wolk seorang berkebangsaan Belanda yang menjabat sebagai Kepala Pemerintahan (Gezaghebber) di Sumbawa pernah menulis sebuah buku “Memorie van Overgave” atau Kenang-Kenangan selama Memerintah.
     Memorie van Overgave adalah buku yang menjelaskan bahwa penduduk asli Sumbawa atau disebut tau Samawa, mula-mula adalah penduduk yang berasal dan bermukim di Semenanjung Sanggar, lereng Gunung Tambora, pada ketinggian kurang lebih 2.850 mdpl. Mereka berpindah ketempat pemukiman baru di Sumbawa dengan menyusuri dataran rendah yang saat itu belum digenangi air lautan akibat mencairnya es Kutub Utara dan Kutub Selatan.
     Diperkirakan pada jaman mencairnya es di kedua kutub bumi yaitu kutub Utara dan Selatan, mengakibatkan tergenangnya sebagian dataran dan menimbulkan plat atau dangkalan antara Sumabawa dan Sanggar. Masa akhir jaman es, juga mengakibatkan tenggelamnya sebagian besar pulau-pulau di Indonesia dan membentuk dangkalan atau plat. Diantaranya adalah Sunda Plat atau dangkalan Sunda yang terbentang antara Sumatera, Kalimantan dan Jawa, kemudian Sahul Plat yaitu dangkalan antara Papua dan Australia bagian Utara, yang tentu saja dapat dibuktikan dengan berbagai macam kesamaan jenis flora dan fauna.
Penduduk asli Sumbawa melalui dataran rendah yang belum tergenang air laut itu berpindah dari Semenanjung Sanggar ketempat pemukimannya yang baru yaitu Sumbawa. Penduduk Sumbawa yang bermukim le bih awal dan selanjutnya menjadi penduduk asli kemudian berpindah ke wilayah pedalaman dataran tinggi pegunungan Ropang, Lunyuk dan bagian selatan Batu Lanteh untuk mencari hunian baru. Dalam buku Memorie van Overgave tercatat bahwa saat itu Tau Samawa masih menganut aliran animisme yang cenderung beranggapan bahwa wilayah pegunungan memiliki kekuatan yang dapat melindungi mereka. Kemudian, kelompok penduduk yang merupakan kategori pendatang baru, adalah berasal dari Bugis- Makasar, Banjarmasin dan Jawa masuk setelahnya ke Sumbawa dan mendiami wilayah pesisir. Kelompok- kelompok penduduk ini selanjutnya menetap untuk seterusnya dan memiliki hak atas tanah yang telah ditempati sejak lama untuk dimanfaatkan. Bagian tanah ini dalam istilah adat Sumbawa dikenal dengan sebutan “Lar Lamat”.
     Lar Lamat adalah tanah tempat tinggal, sawah, ladang dan aliran sungai atau danau serta tempat mereka dimakamkan jika mereka meninggal dunia. Selanjutnya untuk mengawasi dan sekaligus menguasai “Lar Lamat”, dipilihlah seorang penguasa atau pemimpin yang disebut “Nyaka”. Jika ada penduduk berikutnya yang datang dan ingin bermukim dan mencari nafkah dengan membuka tanah baru disitu, tanah itu yang disebut “Tana Penyaka”, mereka akan diterima dan mendapat hak serta kedudukan yang sama dengan syarat mereka harus tetap mematuhi ketentuan-ketentuan yang dikeluarkan oleh Nyaka dan berlaku untuk setiap anggota masyarakat tana penyaka. Kelak, kelompok- kelompok penduduk inilah yang kemudian berkembang dan memiliki wilayah sendiri, membentuk hukum sendiri dan sistem pemerintahan sendiri.[2]
     Artinya, Sumbawa adalah bukan daerah pariwisata. Melainkan Kabupaten lestari dengan sistem mata pencaharian dan sumber penghidupan utama beternak dan bercocok tanam bagi "Tau Samawa" (Sebutan daerah untuk suku Sumbawa).
     Mereka ke sawah dengan menggunakan peralatan tardisional berupa cangkul atau bingkungrengala, dan kareng sebagai peralatan bajak dengan memanfaatkan hewan peliharaan seperti sapi dan kerbau. Pola bercocok tanam ini mulanya diperkenalkan oleh orang-orang Jawa Majapahit pada masa kerajaan-kerajaan Hindu Sumbawa. Mekanisasi pertanian sekarang ini mulai tampak pada masyarakat Sumbawa. Pada sejumlah tempat mulai terlihat pemanfaatan handtractor dan alat-alat modern lain sebagai pengganti peran hewan ternak dalam pengolahan lahan-lahan pertanian.
     Untuk menggarap ladangnya atau “merau” cara-cara tradisional masih dipakai hingga kini yaitu dengan membakar lahan pertanian agar mempermudah proses pengolahan untuk ditanami beberapa jenis tanaman pangan. Akan tetapi, tidak setiap hari para petani ini meluangkan waktunya berada di sawah atau ladangnya, hanya beberapa kali saja dalam seminggu tanaman yang telah ditanam ini mendapatkan pemeliharaan.
     Cara mendapatkan lahan-lahan pertanian inipun begitu mudah, Tau Samawa dapat menemukan lahan untuk bertani, berkebun, dan berladang dengan menandai areal temuannya itu dengan menggantung batu asah atau menanam pohon tertentu seperti bage (Pohon Asam), ketimus, dan bungur yang sudah sama- sama dikenal dan diakui secara konvensi sebagai tanda bahwa lahan itu telah menjadi milik seseorang dan sekaligus untuk menghindari klaim dari orang lain. Konsep ini bagi Tau Samawa telah dipertegas dalam ungkapan tumpan aeng-aeng tu tumpan nan tubaeng, artinya orang yang menjumpai ialah yang memiliki. Ungkapan ini menunjuk pada pemilikan tanah, tempat tinggal atau areal tertentu yang menjadi miliknya, konsep ini juga berlaku pada pekerjaan mencari kayu hutan dan nganyang (berburu) lebah madu dengan memberikan tanda silang dengan parang pada pohon di mana sarang lebah madu itu ada serta mengikatnya dengan lonto (jenis tumbuhan menjalar). Bagi tau Samawa yang melanggar pantangan ini dan berusaha mengambil hak orang lain, maka akan menjadi bahan pembicaraan di mana-mana dan mendapat sanksi adat menjadi tau no kangila atau orang tak tahu malu yang sangat menampar harga diri Tau Samawa.
     Masyarakat Sumbawa yang tinggal di desa-desa umumnya memiliki tempat khusus untuk menyimpan hasil penennya dalam sebuah klompo atau lumbung yang dibangun berdekatan dengan bangunan rumahnya. Bagi Tau Samawa menyimpan hasil panen adalah penting, mengingat bila saat paceklik tiba, Sumbawa mengalami kemarau yang cukup panjang. Maka selain menyimpan hasil panen di lumbung-lumbung, para atau loteng rumah merekapun memiliki tabungan hasil panen. Sedangkan untuk peralatan pertaninan ditempatkan di bongan atau kolong yang terdapat pada bagian bawah rumah panggung.
     Menjadi nelayan merupakan pekerjaan pilihan lain bagi Tau Samawa. Peralatan seperti pancing, kodong danbelat yang berfungsi sebagai perangkap dimanfaatkan untuk menjebak dan menangkap ikan di sungai ataupun di rawa-rawa, sedangkan peralatan berupa jaring lebih diutamakan untuk menangkap ikan di laut.
     Pekerjaan penting lainnya adalah berburu atau nganyang dengan menggunakan peralatan tear atau tombak dan poke atau tombak bermata dua, lamar atau jerat, dan dengan memanfaatkan anjing pemburu. Nganyang pada umumnya merupakan pekerjaan sambilan yang dipilih oleh sebagian Tau Samawa yang tinggal di sekitar perbukitan, sedangkan pekerjaan utama mereka adalah meramu hasil- hasil hutan untuk dijadikan bahan makanan seperti umbi-umbian, buyak atau pucuk-pucuk rotan, serampin atau sari batang enau, madu lebah, jamur-jamuran, dan akar-akaran sebagai bahan pembuatan minyak tradisional yang terkenal dengan sebutan Minyak Sumbawa. Konon, proses pembuatan minyak sumbawa adalah kegiatan turun temurun dan unik. Dimana, "Sandro" (sebutan untuk tau Samawa yang memiliki kekuatan supranatural), mengaduk seluruh ramuan minyak dalam belangga dalam kondisi masih mendidih diatas bara api.
     Masyarakat di luar kepulauan lain mengenal Sumbawa dari hasil ternaknya berupa kuda, sapi, dan kerbau, namun jarang yang mengetahui bahwa hewan-hewan ternak ini dipelihara dengan menggunkan sistem pemeliharaan yang unik. Tau Samawa tidak menambat hewan-hewan ternaknya, hewan-hewan ini dilepas begitu saja di padang-padang gembala atau lar, sedangkan untuk menjaga tanaman pertanian mereka dari serangan hewan ternak, para petani Sumbawa berusah memagari sawah dan ladangnya dengan menanami kayu jawa pada batas lahannya. Karena itulah Sumbawa terkenal sebagai penghasil ternak kuda, sapi dan kerbau terbesar dan terbaik di Indonesia, terutama di kalangan pengepul sapi, kuda dan kerbau yang berdatangan dari berbagai daerah dan mengangkut hasil ternak ini dengan truk-truk besar. Kapal-kapal pengangkut ternak biasanya disiapkan di Labuhan Badas Sumbawa, hingga Pelabuhan Sape di Bima jika akan dikirim ke daerah yang cukup jauh dari Sumbawa. Daerah pembeli ternak ini bahkan datang dari Toraja. Konon, pasokan kerbau terbesar menuju Sumatera adalah kerbau-kerbau yang berasal dari Sumbawa.
     Pekerjaaan pedagang adalah pekerjaan masyarakat Sumbawa dari etnis Cina, Arab, dan Jawa. Sementara pekerjaan menenun adalah pekerjaan turun temurun yang telah dianggap kuno dan rumit, tergeser diantara kuatnya orientasi status sosial tau Samawa saat ini yang lebih bangga bekerja sebagai Pegawai Pemerintahan atau PNS dan Tambang. Karakteristik yang menonjol dari tau Samawa umumnya adalah gemar berbicara dan mengurus soal- soal politik, menyenangi filsafat dan ilmu-ilmu kebatinan, kepercayaan yang begitu kuat pada Sandro atau dukun.
     Pola perkampungannya berbentuk kelompok rumah, setiap kelompok masih memiliki ikatan kekerabatan yang disatukan oleh sebuah pagar kampung. Tata letaknya selalu menyesuaikan dengan pengetahuan masyarakat mengenai urat tanah yang dalam pelaksanaanya hanya bisa diketahui oleh  sandro. Setiap kepala keluarga memiliki tanggung jawab adat membantu membangun rumah anggota kelompok yang baru secara gotong royong di bawah komando tau loka karang, demikian konsep itu dirumuskan dengan nama bayar siru atau balas budi, sehingga anggota kelompok yang melanggar akan dikucilkan. Konsepsi bayar siru ini masih berlaku hingga sekarang, terutama di kampung- kampung di daerah pedesaan.
      Sumbawa sangat kental dengan nuansa Islam, sehingga dalam kehidupan beragama atau hukum pada setiap desa terdapat seorang pemimpin yang dinamakan penghulu, lebe, mudum, ketib, marbot, dan rura. Masyarakat Sumbawa juga mewarisi pelapisan sosial dari masa Kesultanan Sumbawa yang ditandai dengan munculnya tiga golongan, yakni golongan bangsawan yang bergelar dea atau datu, kedua golongan merdeka atau tau sanak, dan ketiga golongan masyarakat biasa yang tidak merdeka atau tau ulin abdi.


C.    Tradisi Suku Samawa
1.      Nyorong
Gambar 2.1 Prosesi Nyorong
(Sumber: http://i44.tinypic.com/21cvafs.jpg)

Upacara Nyorong merupakan salah satu prosesi pernikahan putra-putri sumbawa (tau samawa) Nusa Tenggara Barat. Upacara nyorong ini di laksanakan setelah bakatoan (lamaran). pihak laki-laki di terima oleh orang tua si wanita yang kemudan di teruskan dengan cara basaputis ( memutuskan ). Di dalam acara basaputis inilah di tentukan hari-hari baik untuk melaksanakan acara nyorong dalam sebuah prosesi pernikahan masyarakat samawa. Disini tau samawa hanya mengenal istilah nyorong meliputi barang yang diantar, orang yang mengantar dan pihak yang menerima.
Dibeberapa tempat di Kabupaten Sumbawa, istilah nyorong bahkan sudah berganti sebutan dengan sorong serah. Padahal orang-orang tua dahulu tidak pernah mengenal istilah tersebut. Tidak jelas siapa yang memulai istilah ini, dan tidak seorang pun yang memberikan teguran atau meluruskan sebutan sorong serah ini. Sorong Serah adalah istilah dalam prosesi pernikahan etnis Sasak ( Lombok ) Sedangkan Tau Samawa hanya mengenal istilah Nyorong meliputi barang yang diantar, orang yang mengantar dan pihak yang menerima.[3] Meski tidak jelas siapa yang memulai dengan istilah Sorong Serah pada upacara nyorong ini, namun bisa ditebak bahwa istilah ini datang dari Alas atau Sumbawa bagian Barat. Pertama karena komunitas sasak di kawasan ini jauh jumlah lebih besar jumlahnya ketimbang dikawasan lain di Sumbawa, kecuali Labangka. kemudian yang lebih parah lagi bahwa selain sebutan Nyorong yang sudah berganti menjadi sorong serah, juga kelengkapan upacara ikut berganti. Sebut saja Ratib Rabana Ode yang selalu dominan pada setiap upacara nyorong, sudah jarang ditemui. Ratib sudah berganti dengan Kecimol sebuah kesenian sasak.

2. Musik Tradisional
Gambar 3.1 Prosesi Nyorong

Musik tradisional Sumbawa merupakan musik ritmis, atau musik yang aksentuasinya lebih pada irama, bukanlah musik melodius. Dalam Musik Etnik Sumbawa tidak terdapat gamelan seperti musik daerah Bali, Lombok maupun Jawa. Gamelan bagi daerah-daerah tersebut selain berfungsi sebagai pembawa melodi (alunan), juga sebagai ‘roh’ musik, berbanding terbalik dengan Musik Tradisional Sumbawa yang  alat  musik  utamanya  justru  adalah genang (gendang)  yang berfungsi sebagai pembawa ritme atau pemimpin irama. Sebagai sebuah musik ritmis, Musik Daerah Sumbawa kaya dengan irama yang terwakilkan dalam temung (jenis pukulan), baik temung yang terdapat pada genang, rebana, palompong, dsb. Dalam Musik Tradisional Sumbawa, keberadaan serune yang merupakan satu-satunya alat musik tiup yang memiliki notasi yang paling sering digunakan, hanya berfungsi untuk memberi nuansa melodis, namun alunannya tetap mengikuti alur musik yang dibuat oleh genang sebagai pemimpin irama.

3. Main Jaran
Gambar 4.1 Prosesi Nyorong

Berdasarkan wujudnya kebudayaan ada dikenal dengan wujud kebudayaan nonmaterial. Kebudayaan nonmaterial adalah ciptaan-ciptaan abstrak yang diwariskan dari generasi ke generasi, misalnya berupa dongeng, cerita rakyat, dan lagu, tarian tradisional dan permainan (Wikepedia: 23-11-2011). Dalam kebudayaan Sumbawa memiliki suatu permainan yang dianggap sebagai warisan nenek moyang mereka. Permainan tersebut adalah main jaran ‘pacuan kuda’. Main jaran merupakan suatu permaian keahlian memacu kuda oleh seorang joki. Permainan ini sangat digemari oleh masyarakat setempat bahkan masyarakat dari luar pulau Sumbawa sengaja datang untuk menyaksikan kegaitan permainan tersebut.
Maen Jaran atau pacuan kuda  adalah merupakan permainan yang sangat digemari oleh penduduk Kabupaten Sumbawa, selain menjadi atraksi hiburan, juga menjadi ajang meningkatkan harga jual kuda, karena kuda yang biasanya menjadi pemenang harga jualnya tinggi. Harganya bisa mencapai ratusan juta rupiah.
Sejarah perkembangan permainan ini bermula pada saat zaman kolonial Belanda, sampai saat ini masih dipertahankan oleh masyarakat Sumbawa. Perbedaan main jaran pada zaman kolonial Belanda dengan sekarang, aturan permainan pada saat itu tidak ada, bagi siapa yang mempunyai kuda yang besar dan siap untuk diadu kecepatannya itulah yang tampil, dan arenanya pun di tanah lapang yang tidak dibuatkan arena khusus. Begitu halnya dengan atribut-atribut yang digunkan oleh kuda maupun para joki sangat sederhana yang masih belum memperhatikan keselamatan kuda dan jokinya.

Sesuai dengan perkembangan zaman, main jaranpun ikut berkembang. Hal ini masih kita lihat sampai sekarang yang dilakukan oleh masyarakat Sumbawa. Dilihat dari atribut yang digunakan oleh kuda-kuda pacu dan para joki sudah memperhatikan keselamatan. Kuda pacu diberikan hiasan-hiasan yang terbuat benang woll dan bahan lainnya, berikut disebutkan beberapa atribut yang digunakan oleh kuda pacu. 
·         Jombe atribut yang terbuat tali (benang woll) yang ditempelkan berbagai macam pernak pernik dan dipasang di muka dan leher kuda.
·         Tali kancing merupakan tali yang diikat dan dipasang di dalam mulut kuda dan digunakan pada saat pelepasan.
·         Kili merupakan kawat yang dibuat berbentuk angka delapan sebagai penyambung tali pengendali dengan rantai yang ada dipasang di mulut kuda.
·         Lapek merupakan alas tempat duduk joki yang diletakkan pada punggung kuda dan terbuat dari alang-alang dan atau daun pisang kering.
Begitu hal dengan atribut yang digunakan oleh joki, juga diperhatikan dengan tujuan untuk menjaga keselamatan para joki. Berikut disebutkan beberapa atribut yang digunakan oleh para joki.
  1. Helem digunakan sebagai pelindung kepala dan berfungsi sebagai untuk mengurangi cidera dari joki apabila terjatuh.
  2. Baju kaos berlengan panjang dan celana panjang.
  3. Ketopong digunakn sebagai sarung kepala digunakan sebelum memakai helem.
  4. Cambuk biasanya terbuat dari kayu rotan.
  5. Baju ban (baju rompi) yang memiliki nomor sebagai nomor urut kuda.
Selain perkembangan atribut yang digunakan oleh para joki. peraturan main jaranpun mengalami perubahan. Zaman dahulu peraturan main jaran tidak terlau ketat, namun sekarang peraturan-peraturan tersebut sangat ketat. Dari arena pacuan samapi aturan mainnya sangat diperhatikan. Aturan-aturan yang dterapkan dalam permain/olahraga main jaran. Mulai dari kuda, kuda yang digunakan harus disesuaikan dengan kelasnya masing-masing. Berikut beberapa     klasifikasi kuda pacu dalam main jaran Sumbawa.


  1. Teka saru yaitu kelas untuk kuda pemula dan baru pertama kali melakukan perlombaan.
  2. Teka pas untuk kelas yang telah mengikuti perlombaan sebanyak 2-3 kali.
  3. Teka A untuk kuda sudah berpengalaman yang tingginya 117 cm sampai dengan 120 cm.
  4. Teka B untuk kuda yang memiliki tinggi 121 cm ke atas.
  5. Kelas OA untuk kuda yang sudah berpengalaman dan telah nyepo (giginya telah copot sebanyak 4 buah) dan tingginya 126 cm.
  6. Kelas OB untuk kelas di atas OA yang memiliki tinggi 127 cm sampai dengan 129 cm.
  7. Harapan untuk kuda yang memiliki tinggi 129 cm ke atas dan telah nyepo (giginya telah copot sebanyak 4 buah).
  8. Tunas untuk kuda yang memiliki tinggi 129 cm ke atas dan gigi taringnya telah tumbuh.
  9. Kelas dewasa.
Adapun teknik yang harus diikuti oleh para pemain dalam mengikuti main jaran. Kuda yang tampil dalam pertandingan harus melakukan registrasi dan sekaligus mengambil nomor ban (kotak pelepasan). Para joki mengirng kudanya menuju juri yang bertugas memeriksa kuda dan kesiapan joki untuk menjaga adanya kecurangan dalam perlombaan. Kuda dan joki yang telah mengalami pemeriksaan langsung menuju kotak pelepasan sesuai dengan nomor urut ban (kotak pelepasan) yang didapat dari registrasi. Kuda dan joki bersiap untuk berlari sekencangnya setelah mendengar suara peluit dari juri garis. Seperti halnya main bola, main jaran juga menggunakan sistem gugur dalam menentukan sang juara. Pada babak pertama dinamakan babak guger (gugur) pada babak ini kuda berusaha untuk menuju babak penentu hingga sampai babak final.[4]

4. Barapan Kebo
Gambar 5.1 Tradisi Barapan Kebo
(Sumber: http://assets.kompasiana.com/statics/crawl/556488600423bd9b5f8b4568.jpeg)

Barapan kebo adalah event tradisional para sandro, Joki dan Kerbau terbagus saat tiba musim tanam sumbawa. Tradisi Barapan Kebo tidak hanya diselenggarakan di Pamulung akan tetapi eksis juga di Desa Moyo Hulu, Desa Senampar, Desa Poto, Desa Lengas, Desa Batu Bangka, Desa Maronge hingga Desa Utan sebagai event budaya khas Sumbawa. Barapan Kebo atau Karapan Kerbau ala Sumbawa ini diselenggarakan pada awal musim tanam padi. Lokasi atau arena Barapan Kebo adalah sawah yang telah basah atau sudah digenangi air sebatas lutut. Perlakuan pemilik kerbau jargon Barapan Kebo sama seperti perlakuan audisi Main Jaran. Kerbau­kerbau peserta dikumpulkan 3 hari atau 4 hari sebelum event budaya ini digelar, untuk diukur tinggi dan usianya. Hal ini dimaksudkan, agar dapat ditentukan dalam kelas apa kerbau­kerbau tersebut dapat dilombahkan. Durasi atau lamanya event adalah ditentukan dari seberapa banyak jargon Kerbau yang ikut dalam event budaya Barapan Kebo.
Teknis pelaksanaan Barapan Kebo, umumnya dilaksanakan di atas hamparan sawah berlumpur, dengan lintasa sepanjang sekitar 40 meter. Setiap pasangan kerbau yang diikutsertakan harus didaftarkan ke panitia penyelenggara untuk dicatat nama kerbau, pemilik, dan asalnya, guna menentukan kelas kerbau yang biasanya terdiri dari 8 kelas berdasarkan usia.
Peserta yang terdiri dari dua ekor kerbau jantan yang sama usianya, dipasangkan dengan “Noga” (batang kayu sepanjang sekitar 2 meter yang diikatkan di tengkuk kedua kerbau). Di tengah Noga digantungkan “Kareng” (rangkaian kayu berbentuk sama kaki dengan palang ditengahnya sebagai pijakan kaki Joki). Kemudian untuk memacu dan mengendalikan laju larinya kerbau, maka Joki dilengkapi dengan tongkat kecil yang dihiasi dengan bulu-bulu kerbau yang disebut “Mangkar”. Disamping perlengkapan wajib tersebut, para pemilik kerbau bisanya menambahkan berbagai macam aksesoris, atau hiasan di kepala kerbau untuk menambah kemegahan kerbau balap.
Kerbau yang berhasil meraih predikat juara pada masing-masing kelas, adalah pasangan kerbau yang tercepat menjatuhkan, atau melintasi “Saka”, sebuah tongkat dari kayu khusus yang telah dimanterai oleh “Sandro” (Dukun), agar kerbau takut mendekati, atau melintasinya. “Saka berfungsi sebagai titik finish, dan apabila tidak ada satupun pasangan kerbau yang mampu melintasi, atau menjatuhkan Saka, maka dalam peraturan permainan, semua hadiah yang telah disediakan panitia akan diambil oleh Sandro,” ucap Syamsul.Apakah rombongan Syamsul juga menyertakan Sandro? “Tentu saja, dalam perlombaanBarapan Kebo ini tidak bisa dilepaskan dari unsur magis, yaitu pertarungan kebatinan antara Sandro Saka dengan Sandro Kerbau. “Pasangan kerbau tercepat dan tepat mengenai tongkat (Saka) yang Jokinya tidak terjatuh, akan menjadi pemenang lomba dalam masing-masing kelas. Sedangkan Joki yang berhasil menjatuhkan Saka, bisanya mereka akan “Ngumang” (menari sambil mengacungkan Mangkar) di depan penonton sambil meneriakkan “Lawas” (syair berbahasa Samawa),” jelas Syamsul.
Berapa harga kerbau juara? “Mahal sekali mas, lihat saja itu pasangan kerbau bernama “Bintang Anugerah” dan “Baret Merah” yang berasal dari Telaga Bertong (KSB), karena sering juara, masing-masing harganya mencapai Rp 150 juta hingga Rp 130 juta. Kemudian ada lagi pasangan kerbau bernama “Putera Toraja“ dari Moyo Utara (Sumbawa) itu, harganya sekarang bahkan mencapai Rp 250 juta,” beber Syamsul seraya menunjuk pasangan kerbau dimaksud.
Sungguh siapa bakal menyangka, tradisi yanga awalnya merupakan permainan para petani yang sedang membajak sawahnya di musim penghujan untuk persiapan musim tanam padi. Ternyata kini menjelma menjadi ajang paling bergengsi, bahkan harga sepasang kerbau jawara naik beberapa kali lipat sekaligus menjadi kebanggaan tersendiri bagi para pemiliknya.[5]

D.    Kesimpulan
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa kebudayaan itu merupakan bentuk dan kreasi dari masyarakat dari penduduk tersebut, dimana memiliki ciri-ciri khas tentang kebudayaan tersebut. Ada pun kebudayaan – kebudayaan tersebut sudah sejak lama dikenal dan dilakukan sehingga telah menjadi suatu tradisi yang dilakukan secara turun-temurun dikalangan masyarakatnya, dan dari kebudayaan tersebut patut bisa di jaga dan di lestarikan oleh masyarakat daerah itu sendiri.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa daerah Nusa Tenggara Barat memiliki beraneka ragam kebudayaan. Seperti halnya dengan Suku Sumbawa atau Tau Samawa, Mulai dari upacara adatnya, dan tradisi yg melekat pada masyarakatnya.
Oleh karena itu sungguh sangat disayangkan apabila para generasi penerus bangsa tidak mengetahui tentang kebudayaan daerah ini. Semoga suku budaya di daerah Nusa Tengggara Barat ini tidak pudar.