Rabu, 22 Juni 2016

Aliran Mahayana Dalam Agama Buddha




ALIRAN MAHAYANA DALAM AGAMA BUDDHA
MAKALAH
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Agama Buddha




Dosen: Syaiful Azmi, M.A

Disusun Oleh:
Agus Berani: 11140321000035


PRODI PERBANINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2016

·         Sejarah Mahayana
            Mahayana adalah suatu gerakan pembaharuan dalam agama Buddha atau gerakan pembaharuan yang lahir setelah gerakan Hinayana. Arti dari kata Mahayana berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya “Kendaraan Besar”. Mahayana lahir pada abad ke-1 di India yang dipelopori oleh Buddhaghosa atau Aspaghosa.[1] Perkembangan aliran mahayana dapat dibagi menjadi tiga tahapan, yakni: priode awal, periode pertengahan dan periode akhir.
1.      Periode awal Mahayana
Pada periode ini, Mahayana dimulai pada abad ke-1 SM hingga abad ke-3 M. Para ahli menganggap bahwa ajaran-ajaran Mahayana yang timbul saat ini mencerminkan ajaran paling murni dan paling mencerminkan semangat sejati Buddha Syakyumi yang menggabungkan keyakinan dan praktek dharma kemurnian tersebut nampak pada sutra dan karya–karya tulis keagamaan yang dihasilkan saat itu.
Sutra-sutra Mahayana awal mencerminkan pemikiran baru mengenai sifat sejati kebudhaan, praktek Boddhisatya, dan konsep kekosongan (shunyata) yang meliputi segala sesuatu. Contoh sutra-sutra Mahayana yang tertua adalah Sutra Prajnaparamita (sutra kebijaksanaan kesempurnaan).
2.      Periode pertengahan Mahayana
Periode ini berlangsung sekitar abad ke-3 M hingga pertengahan abad ke-7 M. Pada masa ini terjadilah perkembangan intlektual yang sangat maju di kalangan umat non Buddhis, khususnya umat Hinduisme. Untuk mengimbangi hal tersebut maka Buddhisme terutama Mahayana mengembangkan suatu landasan filosofis dengan menggunakan logika yang kuat, sehingga pada zaman ini pembahasan mengenai filsafat semakin berkembang.
Ajaran- ajaran filosofis yang dikembangkan pada saat itu adalah mengenai aspirasi tingkat kecerahan atau pikiran Boddhi (Boddhicitta) yakni benih-benih kebudahaan yang terdaat dalam setiap makhluk sehingga memungkinkan dari masing-masing makhluk tersebut bisa mencapai tingkat kebuddhaan.
3.      Periode akhir Mahayana
Berlangsung dari pertengahan abad ke-7 M hingga abad ke-13 M perkembangan aliran ini mulai terlihat. Hal tersebut sesuai dengan keberhasilannya mengubah gagasan-gagasan yang rumit ke dalam simbol-simbol untuk menebus ke dalam kebenaran Buddha Dharma sehingga lebih mudah untuk dipahami.  Salah satu bentuk dari simbol tersebut adalah mudra yaitu sikap tangan saat melakukan sadhana (ritual vajrayana).[2]

·         Ajaran Mahayana
Terdapat dua kata yang seolah-olah menjadi ciri khusus bagi ajaran Mahayana adalah Boddhisattwa dan Sunyata karena kedua kata itu hampir terdapat dalam setiap halaman tulisan-tulisan Mahayana.[3]
Secara harfiah Boddhisattwa berarti orang yang hakikat atau tabiatnya adalah boddhi (hikmat) yang sempurna. Sebelum Mahayana timbul, pengertian Boddhisattwa sudah dikenal dan merujuk kepada Buddha Gautama, sebelum ia menjadi Buddha. Di situ Boddhisattwa berarti orang yang sedang dalam perjalanan untuk mencapai hikmat yang sempurrna, yaitu orang yang akan menjadi Buddha. Jadi semula Boddhisattwa adalah sebuah gelar bagi tokoh yang ditetapkan untuk menjadi Buddha. Sedangkan di dalam Mahayana Boddhisattwa adalah orang yang sudah melepaskan dirinya dan dapat menemukan sarana untuk menjadikan benih pencerahan tumbuh dan menjadi matang pada diri orang tersebut. Seorang Boddhisattwa bukan hanya merenungkan kesensaraan dunia saja, melainkan ikut merasakannya dengan berat.[4] Oleh karenanya, ia sudah mengambil keputusan untuk mempergunakan segala aktivitasnya sekarang dan yang akan datang untuk menyelamtkan dunia. Karena kasihnya pada dunia maka segala kebajikannya dipergunakan untuk menolong orang lain. Hal inilah yang menjadi cita-cita tertinggi dalam ajaran Mahayana adalah menjadi Boddhisattwa.
Kemudian pengertian Sunyata menurut istilahnya adalah kosong (tidak ada yang mendiaminya) yang artinya bahwa tiada pribadi yang mendiami orang. Segala sesuatu adalah kosong, sehingga bisa dikatakan tidak da yang diinginkan atau dicari. Bukan hanya dunia yang kosong melainkan Nirwana bahkan Dharma juga kosong. Kebenaran tertinggi adalah kosong, oleh karenanya tidak bisa dijadikan sasaran kepercayaan. Yang Mutlak tak dapat dipegang, seandainya dapat dipegang, tak dapat dikenalnya, sebab Yang Mutlak tidak memiliki ciri-ciri yang membedakannya dengan yang lain.[5]
Di dalam perkembanganya, Mahayana mengalami berbagai macam pengaruh, diantaranya dari gerakan Bhakti (penyembahan pribadi yang berdasarkan kasih kepada dewa yang disembah yang digambarkan dalam bentuk manusia). Dari sinilah, Mahayana melahirkan sebuah ajaran tentang banyak Buddha, yang diuraikan seara mitologis.
Ajaran tentang banyak Buddha ini dijabarkan dari ajaran tentang lima skandha atau lima unsur yang menyusun hidup manusia. Hal yang pertama kali diajarkan adalah bahwa manusia terdiri dari lima skandha, yaitu: rupa (tubuh), wedana (perasaan), samjnha (pengamatan), samskara (kehendak, keinginan), dan wijana (kesadran). Ajaran ini diterapkan terhadap diri Buddha sendiri. Diajarkan, bahwa Buddha juga terdiri dari lima skandha, dan tiap skandha adalah seoang tokoh Buddha, yang disebut Tathagata. Kelima Tathagata ialah Wairoscana (Yang Bersinar), Aksobhya (Yang Tenang), Ratnasambhawa (Yang dilahirkan dari Permata), Amitabha (Terang yang Kekal), Amoghasiddhi (Keuntungan yang tak binasa). Para Tathagata ini berbeda sekali keadaannya dengan Budha yang biasa. Para Tathagata adalah Buddha senantiasa, tidak pernah menjadi manusia, sedang Buddha biasa menjadi manusia.
Perkembangan lebih lanjut bahwa Tathagata itu dihubungkan dengan penjuru alam. Kelima Tathagata itu bersama-sama membentuk tubuh alam semesta. Kemudian para tokoh Tathagata yakni Akshobya dipandang berkuasa di Sorga sebelah timur, Ratnasambhawa di selatan, Amitabha di barat, Amoghasiddhi di utara, dan Wairocana di tengah-tengah langit.
Demikianlah, Di dalam Mahayana, Buddha menjadi suatu makhluk dari golongan yang lebih tinggi, jauh diatas para manusia. Meskipun ia tidak diapandang sebagai Tuhandalam arti yang sebenarnya, tetapi setidak-tidaknya ia dianggap mempunyai sifat luar biasa dan Ia makin menjadi objek pemujaan dan penyembahan.
Buddha Mahayana memandang diri dia sendiri sebagai bagian dari tradisi Buddha saat ini dengan mengembangkan Buddha surga dan Boddhisattwa yang berfungsi sebagai dewa untuk membimbing para pengikutnya menuju jalan keselamatan. Ketika penganut agama Buddha Mahayana melakukan meditasi atau bersemedi, dia membayangkan bahwa Boddhisattwa duduk bersamanya dalam meditasi tersebut. Pada saat inilah dia dapat mengkonsentrasikan dirinya dalam melaksanakan meditasi. Konsentrasi dalam meditasi sangat penting, dan tanpa itu biasanya tujuan meditasi tidak akan terwujud denga baik.
Buddha yang berfungsi sebagai dewa pada zaman sekarang ini adalah Amitabha atau Amida. Ia memerintah di dalam surganya Sukhawati di sebelah barat. Sebgai juru selamatnya atau Dhyani Boddhisattwanya adalah Awalokiteswara, sedang Guru atau utusannya adalah Gautama. Akhirnya, Nirmanakaya adalah dataran Buddha yang tampak mengalir atau dipatulkan dari Sambhogakaya. Tubuh ini ditampakkan oleh Sakyamuni atau Gautama, setelah ia menjadi Buddha
Demikianlah penjelasan tentang aliran Mahayana, walaupun terdapat banyak pembagian tentang Buddha, akan tetapi hakikat dari Buddha yang sebenarnya adalah pencerahan.




DAFTAR PUSTKA
Hadwijono, Harun. Agama Hindu dan Budha: Jakarta, Gunung Mulia, Cet. 1, 2010.
Taniputera, Ivan. Ehipassiko Theravada-Mahayana Sutdi Banding Budhisme Aliran Selatan dan Utara: Yogyakarta, Suwung, Cet. 1, 2003.


[1] Ivan Taniputera, Ehipassiko Theravada-Mahayana Sutdi Banding Budhisme Aliran Selatan dan Utara (Yogyakarta: Suwung, 2003), hal. 7.
[2] I Ivan Taniputera, Ehipassiko Theravada-Mahayana Sutdi Banding Budhisme Aliran Selatan dan Utara..., hal. 7-10
[3] Harun Hadwijono, Agama Hindu dan Buddha, (Jakarta: Gunung Mulia, 2010), hal. 91-92.
[4] Harun Hadwijono, Agama Hindu dan Buddha..., hal. 93.
[5] Harun Hadwijono, Agama Hindu dan Buddha..., hal. 93-96         

Tidak ada komentar:

Posting Komentar