ALIRAN MAHAYANA DALAM AGAMA BUDDHA
MAKALAH
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Agama Buddha
Dosen: Syaiful Azmi, M.A
Disusun Oleh:
Agus Berani: 11140321000035
PRODI PERBANINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2016
·
Sejarah Mahayana
Mahayana adalah
suatu gerakan pembaharuan dalam agama Buddha atau gerakan pembaharuan yang
lahir setelah gerakan Hinayana. Arti dari kata Mahayana berasal dari bahasa
Sansekerta yang artinya “Kendaraan Besar”. Mahayana lahir pada abad ke-1 di
India yang dipelopori oleh Buddhaghosa atau Aspaghosa.[1]
Perkembangan aliran mahayana dapat dibagi menjadi tiga tahapan, yakni: priode
awal, periode pertengahan dan periode akhir.
1.
Periode awal
Mahayana
Pada periode ini, Mahayana dimulai pada abad ke-1 SM hingga abad
ke-3 M. Para ahli menganggap bahwa ajaran-ajaran Mahayana yang timbul saat ini
mencerminkan ajaran paling murni dan paling mencerminkan semangat sejati Buddha
Syakyumi yang menggabungkan keyakinan dan praktek dharma kemurnian tersebut
nampak pada sutra dan karya–karya tulis keagamaan yang dihasilkan saat itu.
Sutra-sutra Mahayana awal mencerminkan
pemikiran baru mengenai sifat sejati kebudhaan, praktek Boddhisatya, dan konsep
kekosongan (shunyata) yang meliputi segala sesuatu. Contoh sutra-sutra
Mahayana yang tertua adalah Sutra Prajnaparamita (sutra kebijaksanaan
kesempurnaan).
2.
Periode
pertengahan Mahayana
Periode ini berlangsung sekitar abad ke-3 M hingga pertengahan abad
ke-7 M. Pada masa ini terjadilah perkembangan intlektual yang sangat maju di
kalangan umat non Buddhis, khususnya umat Hinduisme. Untuk mengimbangi hal
tersebut maka Buddhisme terutama Mahayana mengembangkan suatu landasan
filosofis dengan menggunakan logika yang kuat, sehingga pada zaman ini pembahasan
mengenai filsafat semakin berkembang.
Ajaran- ajaran filosofis yang dikembangkan pada saat itu adalah
mengenai aspirasi tingkat kecerahan atau pikiran Boddhi (Boddhicitta)
yakni benih-benih kebudahaan yang terdaat dalam setiap makhluk sehingga
memungkinkan dari masing-masing makhluk tersebut bisa mencapai tingkat kebuddhaan.
3.
Periode akhir
Mahayana
Berlangsung dari pertengahan abad ke-7 M hingga abad ke-13 M
perkembangan aliran ini mulai terlihat. Hal tersebut sesuai dengan keberhasilannya
mengubah gagasan-gagasan yang rumit ke dalam simbol-simbol untuk menebus ke
dalam kebenaran Buddha Dharma sehingga lebih mudah untuk dipahami. Salah satu bentuk dari simbol tersebut adalah mudra
yaitu sikap tangan saat melakukan sadhana (ritual vajrayana).[2]
·
Ajaran Mahayana
Terdapat dua kata yang seolah-olah menjadi ciri khusus bagi ajaran
Mahayana adalah Boddhisattwa dan Sunyata karena kedua kata itu
hampir terdapat dalam setiap halaman tulisan-tulisan Mahayana.[3]
Secara harfiah Boddhisattwa berarti orang yang hakikat atau
tabiatnya adalah boddhi (hikmat) yang sempurna. Sebelum Mahayana timbul,
pengertian Boddhisattwa sudah dikenal dan merujuk kepada Buddha Gautama,
sebelum ia menjadi Buddha. Di situ Boddhisattwa berarti orang yang
sedang dalam perjalanan untuk mencapai hikmat yang sempurrna, yaitu orang yang
akan menjadi Buddha. Jadi semula Boddhisattwa adalah sebuah gelar bagi
tokoh yang ditetapkan untuk menjadi Buddha. Sedangkan di dalam Mahayana Boddhisattwa
adalah orang yang sudah melepaskan dirinya dan dapat menemukan sarana untuk
menjadikan benih pencerahan tumbuh dan menjadi matang pada diri orang tersebut.
Seorang Boddhisattwa bukan hanya merenungkan kesensaraan dunia saja,
melainkan ikut merasakannya dengan berat.[4]
Oleh karenanya, ia sudah mengambil keputusan untuk mempergunakan segala
aktivitasnya sekarang dan yang akan datang untuk menyelamtkan dunia. Karena
kasihnya pada dunia maka segala kebajikannya dipergunakan untuk menolong orang
lain. Hal inilah yang menjadi cita-cita tertinggi dalam ajaran Mahayana adalah
menjadi Boddhisattwa.
Kemudian pengertian Sunyata menurut istilahnya adalah kosong
(tidak ada yang mendiaminya) yang artinya bahwa tiada pribadi yang mendiami
orang. Segala sesuatu adalah kosong, sehingga bisa dikatakan tidak da yang
diinginkan atau dicari. Bukan hanya dunia yang kosong melainkan Nirwana
bahkan Dharma juga kosong. Kebenaran tertinggi adalah kosong, oleh
karenanya tidak bisa dijadikan sasaran kepercayaan. Yang Mutlak tak dapat dipegang,
seandainya dapat dipegang, tak dapat dikenalnya, sebab Yang Mutlak tidak
memiliki ciri-ciri yang membedakannya dengan yang lain.[5]
Di dalam perkembanganya, Mahayana mengalami berbagai macam
pengaruh, diantaranya dari gerakan Bhakti (penyembahan pribadi yang
berdasarkan kasih kepada dewa yang disembah yang digambarkan dalam bentuk
manusia). Dari sinilah, Mahayana melahirkan sebuah ajaran tentang banyak Buddha,
yang diuraikan seara mitologis.
Ajaran tentang banyak Buddha ini dijabarkan dari ajaran tentang
lima skandha atau lima unsur yang menyusun hidup manusia. Hal yang
pertama kali diajarkan adalah bahwa manusia terdiri dari lima skandha,
yaitu: rupa (tubuh), wedana (perasaan), samjnha
(pengamatan), samskara (kehendak, keinginan), dan wijana
(kesadran). Ajaran ini diterapkan terhadap diri Buddha sendiri. Diajarkan,
bahwa Buddha juga terdiri dari lima skandha, dan tiap skandha
adalah seoang tokoh Buddha, yang disebut Tathagata. Kelima Tathagata
ialah Wairoscana (Yang Bersinar), Aksobhya (Yang Tenang), Ratnasambhawa
(Yang dilahirkan dari Permata), Amitabha (Terang yang Kekal), Amoghasiddhi
(Keuntungan yang tak binasa). Para Tathagata ini berbeda sekali
keadaannya dengan Budha yang biasa. Para Tathagata adalah Buddha
senantiasa, tidak pernah menjadi manusia, sedang Buddha biasa menjadi manusia.
Perkembangan lebih lanjut bahwa Tathagata itu dihubungkan
dengan penjuru alam. Kelima Tathagata itu bersama-sama membentuk tubuh
alam semesta. Kemudian para tokoh Tathagata yakni Akshobya dipandang
berkuasa di Sorga sebelah timur, Ratnasambhawa di selatan, Amitabha
di barat, Amoghasiddhi di utara, dan Wairocana di tengah-tengah
langit.
Demikianlah,
Di dalam Mahayana, Buddha menjadi suatu makhluk
dari golongan yang lebih tinggi, jauh diatas para manusia. Meskipun ia tidak
diapandang sebagai Tuhandalam arti
yang sebenarnya, tetapi setidak-tidaknya ia dianggap mempunyai sifat luar biasa
dan Ia makin menjadi objek pemujaan dan penyembahan.
Buddha Mahayana memandang diri dia sendiri
sebagai bagian dari tradisi Buddha saat ini dengan mengembangkan Buddha surga
dan Boddhisattwa yang berfungsi sebagai dewa untuk membimbing para
pengikutnya menuju jalan keselamatan. Ketika penganut agama Buddha
Mahayana melakukan meditasi atau bersemedi, dia membayangkan bahwa Boddhisattwa duduk bersamanya
dalam meditasi tersebut. Pada saat inilah dia dapat mengkonsentrasikan dirinya
dalam melaksanakan meditasi. Konsentrasi dalam meditasi sangat penting, dan
tanpa itu biasanya tujuan meditasi tidak akan terwujud denga baik.
Buddha yang berfungsi sebagai dewa pada zaman
sekarang ini adalah Amitabha atau Amida. Ia memerintah di dalam surganya Sukhawati di sebelah
barat. Sebgai juru selamatnya
atau Dhyani Boddhisattwanya adalah Awalokiteswara, sedang
Guru atau utusannya adalah Gautama.
Akhirnya, Nirmanakaya adalah dataran Buddha yang tampak mengalir atau
dipatulkan dari Sambhogakaya. Tubuh ini ditampakkan oleh Sakyamuni atau Gautama, setelah ia menjadi Buddha
Demikianlah penjelasan tentang aliran Mahayana, walaupun terdapat
banyak pembagian tentang Buddha, akan tetapi hakikat dari Buddha yang
sebenarnya adalah pencerahan.
DAFTAR PUSTKA
Hadwijono,
Harun. Agama Hindu dan Budha: Jakarta, Gunung Mulia, Cet. 1, 2010.
Taniputera,
Ivan. Ehipassiko Theravada-Mahayana Sutdi Banding Budhisme Aliran Selatan
dan Utara: Yogyakarta, Suwung, Cet. 1, 2003.
[1] Ivan Taniputera, Ehipassiko
Theravada-Mahayana Sutdi Banding Budhisme Aliran Selatan dan Utara
(Yogyakarta: Suwung, 2003), hal. 7.
[2] I Ivan Taniputera, Ehipassiko
Theravada-Mahayana Sutdi Banding Budhisme Aliran Selatan dan Utara...,
hal. 7-10
[3] Harun Hadwijono, Agama Hindu dan Buddha, (Jakarta: Gunung
Mulia, 2010), hal. 91-92.
[4] Harun Hadwijono, Agama Hindu dan Buddha..., hal. 93.
[5] Harun Hadwijono, Agama Hindu dan Buddha..., hal. 93-96
Tidak ada komentar:
Posting Komentar