A.
Pendahuluan
Indonesia
merupakan salah satu negara kepulauan yang kaya akan budaya dan daerah
pariwisata yang tersebar dari sabang sampai merauke. Keragaman budaya yang
dimiliki menjadikan Indonesia salah satu objek wisata seluruh dunia. Hal
tersebut didukung oleh suasana dan kondisi alam serta masyarakat penghuninya
yang memilki budaya dengan karakteristik yang unik dan beraneka ragam antara
pulau yang satu dengan yang lainnya. Salah satunya keindahan alam yang ada di Nusa
Tenggara Barat “NTB” yang kaya akan kultur atau budaya masyarakat yang
mendiaminya yang masih begitu kental dengan adat istiadat yang dianut sejak
zaman nenek moyang terdahulu.
Sama halnya dengan daerah-daerah lain di Nusa Tenggara
Barat, daerah Sumbawa juga memiliki kebudayaan yang menjadi ciri khas
masyarakat Sumbawa. Masyarakat Sumbawa biasa di sebut dengan “Tau Samawa”. Para
tau Samawa pada zaman dahulu memiliki berbagai macam kebudayaan dan kesenian
yang akan dibahas dalam makalah ini.
B.
Sejarah
Tau
samawa asal kata dari Tau yang berarti orang, dan Samawa adalah nama lain dari
Sumbawa. jadi Tau samawa adalah orang yang menempati atau masyarakat yang
menempati pulau sumbawa,tau samawa juga adalah sebuah suku yang mendiami pulau
sumbawa. Samawa adalah sebutan yang biasa digunakan oleh penduduk lokal untuk
Sumbawa. Berubahnya kata samawa menjadi Sumbawa lebih dipengaruhi oleh
penjajahan belanda pada masa lampau tepatnya pada jaman kolonial Belanda.
Penjajah belanda meyebut Samawa dengan kata Zhambava dan seiring waktu dan juga
penyebutan dengan lidah indonesia Zhambava menjadi sumbawa, sama halnya dengan daerah-daerah
lain di Indonesia seperti Jawa menjadi Java.
Banyak
versi yang menyebutkan asal mula suku sumbawa (tau samawa) salah santunya ada
yang menyebutkan bahwa tau samawa (suku Sumbawa) berasal dari Gowa,makassar
yang dibuang oleh kerajaan Gowa. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya kesamaan
tradisi, budaya dan adat istiadat. Senjata tradisional, pakaian adat dan
lain-lain. Bahkan karakter yang keras jugas masih bisa ditemui.
Penduduk asli Sumbawa berpindah dari Semenanjung Sanggar
ketempat pemukimannya yang baru yaitu Sumbawa. Penduduk Sumbawa yang bermukim
lebih awal dan selanjutnya menjadi penduduk asli kemudian berpindah ke wilayah
pedalaman dataran tinggi pegunungan Ropang, Lunyuk dan bagian selatan Batu
Lanteh untuk mencari hunian baru. saat itu Tau Samawa masih menganut
aliran animisme yang cenderung beranggapan bahwa wilayah pegunungan memiliki
kekuatan yang dapat melindungi mereka.
Sumbawa atau Semawa mendiami
Kabupaten Sumbawa di Pulau Sumbawa, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Jumlah
populasinya sekitar 190.000 jiwa. Mereka menggunakan bahasa Semawa yang terdiri
atas beberapa dialek, yaitu dialek Semawa, Semawa Taliwang, Semawa Baturotok
atau Batulante, Ropang Suri, Selesek, Lebah, Dodo, Jeluar, Tanganam, Geranta
dan Jereweh. Dalam kehidupan sehari-hari dikenal bentuk bahasa halus dan bahasa
kasar.
Gambar 1.1 Peta Pulau Sumbawa
(Sumber:
http://www.mataram.bpk.go.id/wp-content/uploads/2012/02/peta.jpg)
Sedikit
refrensi tentang ini. Sejarah Sumbawa masih diyakini ada pada buku berjudul
“Sumbawa Pada Masa Lalu”, karya Lulu A. Manca. Dalam buku Sumbawa Pada Masa
Lalu tertulis bahwa Van der Wolk seorang berkebangsaan Belanda
yang menjabat sebagai Kepala Pemerintahan (Gezaghebber) di Sumbawa
pernah menulis sebuah buku “Memorie van Overgave” atau Kenang-Kenangan
selama Memerintah.
Memorie
van Overgave adalah buku yang menjelaskan bahwa penduduk
asli Sumbawa atau disebut tau Samawa, mula-mula adalah penduduk
yang berasal dan bermukim di Semenanjung Sanggar, lereng Gunung Tambora, pada
ketinggian kurang lebih 2.850 mdpl. Mereka berpindah ketempat pemukiman baru di
Sumbawa dengan menyusuri dataran rendah yang saat itu belum digenangi air
lautan akibat mencairnya es Kutub Utara dan Kutub Selatan.
Diperkirakan
pada jaman mencairnya es di kedua kutub bumi yaitu kutub Utara dan Selatan,
mengakibatkan tergenangnya sebagian dataran dan menimbulkan plat atau dangkalan
antara Sumabawa dan Sanggar. Masa akhir jaman es, juga mengakibatkan
tenggelamnya sebagian besar pulau-pulau di Indonesia dan membentuk dangkalan
atau plat. Diantaranya adalah Sunda Plat atau dangkalan Sunda yang terbentang
antara Sumatera, Kalimantan dan Jawa, kemudian Sahul Plat yaitu dangkalan
antara Papua dan Australia bagian Utara, yang tentu saja dapat dibuktikan dengan
berbagai macam kesamaan jenis flora dan fauna.
Penduduk
asli Sumbawa melalui dataran rendah yang belum tergenang air laut itu berpindah
dari Semenanjung Sanggar ketempat pemukimannya yang baru yaitu Sumbawa.
Penduduk Sumbawa yang bermukim le bih awal dan selanjutnya menjadi penduduk
asli kemudian berpindah ke wilayah pedalaman dataran tinggi pegunungan Ropang,
Lunyuk dan bagian selatan Batu Lanteh untuk mencari hunian baru. Dalam buku Memorie
van Overgave tercatat bahwa saat itu Tau Samawa masih
menganut aliran animisme yang cenderung beranggapan bahwa wilayah pegunungan
memiliki kekuatan yang dapat melindungi mereka. Kemudian, kelompok penduduk
yang merupakan kategori pendatang baru, adalah berasal dari Bugis- Makasar,
Banjarmasin dan Jawa masuk setelahnya ke Sumbawa dan mendiami wilayah pesisir.
Kelompok- kelompok penduduk ini selanjutnya menetap untuk seterusnya dan
memiliki hak atas tanah yang telah ditempati sejak lama untuk dimanfaatkan.
Bagian tanah ini dalam istilah adat Sumbawa dikenal dengan sebutan “Lar
Lamat”.
Lar
Lamat adalah tanah tempat tinggal, sawah, ladang dan aliran sungai
atau danau serta tempat mereka dimakamkan jika mereka meninggal dunia.
Selanjutnya untuk mengawasi dan sekaligus menguasai “Lar Lamat”,
dipilihlah seorang penguasa atau pemimpin yang disebut “Nyaka”. Jika ada
penduduk berikutnya yang datang dan ingin bermukim dan mencari nafkah dengan
membuka tanah baru disitu, tanah itu yang disebut “Tana Penyaka”, mereka
akan diterima dan mendapat hak serta kedudukan yang sama dengan syarat mereka
harus tetap mematuhi ketentuan-ketentuan yang dikeluarkan oleh Nyaka dan
berlaku untuk setiap anggota masyarakat tana penyaka. Kelak,
kelompok- kelompok penduduk inilah yang kemudian berkembang dan memiliki
wilayah sendiri, membentuk hukum sendiri dan sistem pemerintahan sendiri.
Artinya,
Sumbawa adalah bukan daerah pariwisata. Melainkan Kabupaten lestari dengan
sistem mata pencaharian dan sumber penghidupan utama beternak dan bercocok
tanam bagi "Tau Samawa" (Sebutan daerah untuk suku
Sumbawa).
Mereka
ke sawah dengan menggunakan peralatan tardisional berupa cangkul atau bingkung, rengala,
dan kareng sebagai peralatan bajak dengan memanfaatkan hewan
peliharaan seperti sapi dan kerbau. Pola bercocok tanam ini mulanya diperkenalkan
oleh orang-orang Jawa Majapahit pada masa kerajaan-kerajaan Hindu Sumbawa.
Mekanisasi pertanian sekarang ini mulai tampak pada masyarakat Sumbawa. Pada
sejumlah tempat mulai terlihat pemanfaatan handtractor dan
alat-alat modern lain sebagai pengganti peran hewan ternak dalam pengolahan
lahan-lahan pertanian.
Untuk
menggarap ladangnya atau “merau” cara-cara tradisional masih dipakai hingga
kini yaitu dengan membakar lahan pertanian agar mempermudah proses pengolahan
untuk ditanami beberapa jenis tanaman pangan. Akan tetapi, tidak setiap hari
para petani ini meluangkan waktunya berada di sawah atau ladangnya, hanya
beberapa kali saja dalam seminggu tanaman yang telah ditanam ini mendapatkan
pemeliharaan.
Cara
mendapatkan lahan-lahan pertanian inipun begitu mudah, Tau Samawa dapat
menemukan lahan untuk bertani, berkebun, dan berladang dengan menandai areal
temuannya itu dengan menggantung batu asah atau menanam pohon tertentu seperti
bage (Pohon Asam), ketimus, dan bungur yang sudah sama- sama dikenal dan diakui
secara konvensi sebagai tanda bahwa lahan itu telah menjadi milik seseorang dan
sekaligus untuk menghindari klaim dari orang lain. Konsep ini bagi Tau
Samawa telah dipertegas dalam ungkapan tumpan aeng-aeng tu
tumpan nan tubaeng, artinya orang yang menjumpai ialah yang memiliki.
Ungkapan ini menunjuk pada pemilikan tanah, tempat tinggal atau areal tertentu
yang menjadi miliknya, konsep ini juga berlaku pada pekerjaan mencari kayu
hutan dan nganyang (berburu) lebah madu dengan memberikan tanda silang dengan
parang pada pohon di mana sarang lebah madu itu ada serta mengikatnya dengan
lonto (jenis tumbuhan menjalar). Bagi tau Samawa yang melanggar pantangan ini
dan berusaha mengambil hak orang lain, maka akan menjadi bahan pembicaraan di
mana-mana dan mendapat sanksi adat menjadi tau no kangila atau
orang tak tahu malu yang sangat menampar harga diri Tau Samawa.
Masyarakat
Sumbawa yang tinggal di desa-desa umumnya memiliki tempat khusus untuk
menyimpan hasil penennya dalam sebuah klompo atau lumbung yang
dibangun berdekatan dengan bangunan rumahnya. Bagi Tau Samawa menyimpan
hasil panen adalah penting, mengingat bila saat paceklik tiba, Sumbawa
mengalami kemarau yang cukup panjang. Maka selain menyimpan hasil panen di
lumbung-lumbung, para atau loteng rumah merekapun memiliki tabungan hasil
panen. Sedangkan untuk peralatan pertaninan ditempatkan di bongan atau
kolong yang terdapat pada bagian bawah rumah panggung.
Menjadi
nelayan merupakan pekerjaan pilihan lain bagi Tau Samawa. Peralatan
seperti pancing, kodong danbelat yang berfungsi
sebagai perangkap dimanfaatkan untuk menjebak dan menangkap ikan di sungai
ataupun di rawa-rawa, sedangkan peralatan berupa jaring lebih diutamakan untuk
menangkap ikan di laut.
Pekerjaan
penting lainnya adalah berburu atau nganyang dengan
menggunakan peralatan tear atau tombak dan poke atau
tombak bermata dua, lamar atau jerat, dan dengan memanfaatkan
anjing pemburu. Nganyang pada umumnya merupakan pekerjaan
sambilan yang dipilih oleh sebagian Tau Samawa yang tinggal di
sekitar perbukitan, sedangkan pekerjaan utama mereka adalah meramu hasil- hasil
hutan untuk dijadikan bahan makanan seperti umbi-umbian, buyak atau
pucuk-pucuk rotan, serampin atau sari batang enau, madu lebah,
jamur-jamuran, dan akar-akaran sebagai bahan pembuatan minyak tradisional yang
terkenal dengan sebutan Minyak Sumbawa. Konon, proses pembuatan
minyak sumbawa adalah kegiatan turun temurun dan unik. Dimana, "Sandro" (sebutan
untuk tau Samawa yang memiliki kekuatan supranatural), mengaduk
seluruh ramuan minyak dalam belangga dalam kondisi masih mendidih diatas bara
api.
Masyarakat
di luar kepulauan lain mengenal Sumbawa dari hasil ternaknya berupa kuda, sapi,
dan kerbau, namun jarang yang mengetahui bahwa hewan-hewan ternak ini dipelihara
dengan menggunkan sistem pemeliharaan yang unik. Tau Samawa tidak
menambat hewan-hewan ternaknya, hewan-hewan ini dilepas begitu saja di
padang-padang gembala atau lar, sedangkan untuk menjaga tanaman
pertanian mereka dari serangan hewan ternak, para petani Sumbawa berusah
memagari sawah dan ladangnya dengan menanami kayu jawa pada batas lahannya.
Karena itulah Sumbawa terkenal sebagai penghasil ternak kuda, sapi dan kerbau
terbesar dan terbaik di Indonesia, terutama di kalangan pengepul sapi, kuda dan
kerbau yang berdatangan dari berbagai daerah dan mengangkut hasil ternak ini
dengan truk-truk besar. Kapal-kapal pengangkut ternak biasanya disiapkan di
Labuhan Badas Sumbawa, hingga Pelabuhan Sape di Bima jika akan dikirim ke
daerah yang cukup jauh dari Sumbawa. Daerah pembeli ternak ini bahkan datang
dari Toraja. Konon, pasokan kerbau terbesar menuju Sumatera adalah
kerbau-kerbau yang berasal dari Sumbawa.
Pekerjaaan
pedagang adalah pekerjaan masyarakat Sumbawa dari etnis Cina, Arab, dan Jawa.
Sementara pekerjaan menenun adalah pekerjaan turun temurun yang telah dianggap
kuno dan rumit, tergeser diantara kuatnya orientasi status sosial tau Samawa saat
ini yang lebih bangga bekerja sebagai Pegawai Pemerintahan atau PNS dan
Tambang. Karakteristik yang menonjol dari tau Samawa umumnya adalah gemar
berbicara dan mengurus soal- soal politik, menyenangi filsafat dan ilmu-ilmu
kebatinan, kepercayaan yang begitu kuat pada Sandro atau
dukun.
Pola
perkampungannya berbentuk kelompok rumah, setiap kelompok masih memiliki ikatan
kekerabatan yang disatukan oleh sebuah pagar kampung. Tata letaknya selalu
menyesuaikan dengan pengetahuan masyarakat mengenai urat tanah yang dalam
pelaksanaanya hanya bisa diketahui oleh sandro. Setiap kepala
keluarga memiliki tanggung jawab adat membantu membangun rumah anggota kelompok
yang baru secara gotong royong di bawah komando tau loka karang,
demikian konsep itu dirumuskan dengan nama bayar siru atau
balas budi, sehingga anggota kelompok yang melanggar akan dikucilkan. Konsepsi bayar
siru ini masih berlaku hingga sekarang, terutama di kampung- kampung
di daerah pedesaan.
Sumbawa
sangat kental dengan nuansa Islam, sehingga dalam kehidupan beragama atau hukum
pada setiap desa terdapat seorang pemimpin yang dinamakan penghulu,
lebe, mudum, ketib, marbot, dan rura. Masyarakat Sumbawa
juga mewarisi pelapisan sosial dari masa Kesultanan Sumbawa yang ditandai
dengan munculnya tiga golongan, yakni golongan bangsawan yang bergelar dea atau datu,
kedua golongan merdeka atau tau sanak, dan ketiga golongan
masyarakat biasa yang tidak merdeka atau tau ulin abdi.
C.
Tradisi Suku Samawa
1.
Nyorong
Gambar 2.1 Prosesi Nyorong
(Sumber: http://i44.tinypic.com/21cvafs.jpg)
Upacara Nyorong
merupakan salah satu prosesi pernikahan putra-putri sumbawa (tau samawa) Nusa
Tenggara Barat. Upacara nyorong ini di laksanakan setelah bakatoan (lamaran).
pihak laki-laki di terima oleh orang tua si wanita yang kemudan di teruskan
dengan cara basaputis ( memutuskan ). Di dalam acara basaputis inilah di
tentukan hari-hari baik untuk melaksanakan acara nyorong dalam sebuah prosesi
pernikahan masyarakat samawa. Disini tau samawa hanya mengenal istilah nyorong
meliputi barang yang diantar, orang yang mengantar dan pihak yang menerima.
Dibeberapa tempat di Kabupaten Sumbawa, istilah nyorong
bahkan sudah berganti sebutan dengan sorong
serah. Padahal orang-orang tua dahulu tidak pernah mengenal istilah
tersebut. Tidak jelas siapa yang memulai istilah ini, dan tidak seorang pun
yang memberikan teguran atau meluruskan sebutan sorong serah ini. Sorong Serah
adalah istilah dalam prosesi pernikahan etnis Sasak ( Lombok ) Sedangkan Tau
Samawa hanya mengenal istilah Nyorong meliputi barang yang diantar, orang yang
mengantar dan pihak yang menerima. Meski tidak jelas siapa
yang memulai dengan istilah Sorong Serah pada upacara nyorong ini, namun bisa
ditebak bahwa istilah ini datang dari Alas atau Sumbawa bagian Barat. Pertama
karena komunitas sasak di kawasan ini jauh jumlah lebih besar jumlahnya
ketimbang dikawasan lain di Sumbawa, kecuali Labangka. kemudian yang lebih
parah lagi bahwa selain sebutan Nyorong yang sudah berganti menjadi sorong
serah, juga kelengkapan upacara ikut berganti. Sebut saja Ratib Rabana Ode yang
selalu dominan pada setiap upacara nyorong, sudah jarang ditemui. Ratib sudah
berganti dengan Kecimol sebuah kesenian sasak.
2. Musik Tradisional
Gambar 3.1 Prosesi Nyorong
Musik tradisional Sumbawa merupakan musik ritmis, atau
musik yang aksentuasinya lebih pada irama, bukanlah musik melodius. Dalam Musik
Etnik Sumbawa tidak terdapat gamelan seperti musik daerah Bali, Lombok maupun
Jawa. Gamelan bagi daerah-daerah tersebut selain berfungsi sebagai pembawa
melodi (alunan), juga sebagai ‘roh’ musik, berbanding terbalik dengan Musik
Tradisional Sumbawa yang alat musik utamanya justru adalah
genang (gendang) yang berfungsi sebagai pembawa ritme atau pemimpin
irama. Sebagai sebuah musik ritmis, Musik Daerah Sumbawa kaya dengan irama yang
terwakilkan dalam temung (jenis pukulan), baik temung yang terdapat pada
genang, rebana, palompong, dsb. Dalam Musik Tradisional Sumbawa, keberadaan
serune yang merupakan satu-satunya alat musik tiup yang memiliki notasi yang
paling sering digunakan, hanya berfungsi untuk memberi nuansa melodis, namun
alunannya tetap mengikuti alur musik yang dibuat oleh genang sebagai pemimpin
irama.
3.
Main Jaran
Gambar 4.1 Prosesi Nyorong
Berdasarkan wujudnya kebudayaan ada dikenal dengan wujud
kebudayaan nonmaterial. Kebudayaan nonmaterial adalah ciptaan-ciptaan abstrak
yang diwariskan dari generasi ke generasi, misalnya berupa dongeng, cerita
rakyat, dan lagu, tarian tradisional dan permainan (Wikepedia: 23-11-2011).
Dalam kebudayaan Sumbawa memiliki suatu permainan yang dianggap sebagai warisan
nenek moyang mereka. Permainan tersebut adalah main jaran ‘pacuan kuda’. Main
jaran merupakan suatu permaian keahlian memacu kuda oleh seorang joki.
Permainan ini sangat digemari oleh masyarakat setempat bahkan masyarakat dari
luar pulau Sumbawa sengaja datang untuk menyaksikan kegaitan permainan
tersebut.
Maen Jaran atau pacuan
kuda adalah merupakan permainan yang sangat digemari oleh penduduk
Kabupaten Sumbawa, selain menjadi atraksi hiburan, juga menjadi ajang
meningkatkan harga jual kuda, karena kuda yang biasanya menjadi pemenang harga
jualnya tinggi. Harganya bisa mencapai ratusan juta rupiah.
Sejarah perkembangan
permainan ini bermula pada saat zaman kolonial Belanda, sampai saat ini masih
dipertahankan oleh masyarakat Sumbawa. Perbedaan main jaran pada zaman kolonial
Belanda dengan sekarang, aturan permainan pada saat itu tidak ada, bagi siapa
yang mempunyai kuda yang besar dan siap untuk diadu kecepatannya itulah yang
tampil, dan arenanya pun di tanah lapang yang tidak dibuatkan arena khusus.
Begitu halnya dengan atribut-atribut yang digunkan oleh kuda maupun para joki
sangat sederhana yang masih belum memperhatikan keselamatan kuda dan jokinya.
Sesuai
dengan perkembangan zaman, main jaranpun ikut berkembang. Hal ini masih kita
lihat sampai sekarang yang dilakukan oleh masyarakat Sumbawa. Dilihat dari
atribut yang digunakan oleh kuda-kuda pacu dan para joki sudah memperhatikan
keselamatan. Kuda pacu diberikan hiasan-hiasan yang terbuat benang woll dan
bahan lainnya, berikut disebutkan beberapa atribut yang digunakan oleh kuda
pacu.
·
Jombe atribut yang terbuat tali (benang woll)
yang ditempelkan berbagai macam pernak pernik dan dipasang di muka dan leher
kuda.
·
Tali kancing merupakan tali yang diikat dan
dipasang di dalam mulut kuda dan digunakan pada saat pelepasan.
·
Kili merupakan kawat yang dibuat berbentuk
angka delapan sebagai penyambung tali pengendali dengan rantai yang ada
dipasang di mulut kuda.
·
Lapek merupakan alas tempat duduk joki yang
diletakkan pada punggung kuda dan terbuat dari alang-alang dan atau daun pisang
kering.
Begitu hal dengan atribut
yang digunakan oleh joki, juga diperhatikan dengan tujuan untuk menjaga
keselamatan para joki. Berikut disebutkan beberapa atribut yang digunakan oleh
para joki.
- Helem digunakan sebagai
pelindung kepala dan berfungsi sebagai untuk mengurangi cidera dari joki
apabila terjatuh.
- Baju kaos berlengan panjang dan
celana panjang.
- Ketopong digunakn sebagai
sarung kepala digunakan sebelum memakai helem.
- Cambuk biasanya terbuat dari
kayu rotan.
- Baju ban (baju rompi) yang
memiliki nomor sebagai nomor urut kuda.
Selain
perkembangan atribut yang digunakan oleh para joki. peraturan main jaranpun
mengalami perubahan. Zaman dahulu peraturan main jaran tidak terlau ketat,
namun sekarang peraturan-peraturan tersebut sangat ketat. Dari arena pacuan
samapi aturan mainnya sangat diperhatikan. Aturan-aturan yang dterapkan dalam
permain/olahraga main jaran. Mulai dari kuda, kuda yang digunakan harus
disesuaikan dengan kelasnya masing-masing. Berikut beberapa
klasifikasi kuda pacu dalam main jaran Sumbawa.
- Teka saru yaitu kelas untuk
kuda pemula dan baru pertama kali melakukan perlombaan.
- Teka pas untuk kelas yang telah
mengikuti perlombaan sebanyak 2-3 kali.
- Teka A untuk kuda sudah
berpengalaman yang tingginya 117 cm sampai dengan 120 cm.
- Teka B untuk kuda yang memiliki
tinggi 121 cm ke atas.
- Kelas OA untuk kuda yang sudah
berpengalaman dan telah nyepo (giginya telah copot sebanyak 4 buah) dan
tingginya 126 cm.
- Kelas OB untuk kelas di atas OA
yang memiliki tinggi 127 cm sampai dengan 129 cm.
- Harapan untuk kuda yang
memiliki tinggi 129 cm ke atas dan telah nyepo (giginya telah copot
sebanyak 4 buah).
- Tunas untuk kuda yang memiliki
tinggi 129 cm ke atas dan gigi taringnya telah tumbuh.
- Kelas dewasa.
Adapun
teknik yang harus diikuti oleh para pemain dalam mengikuti main jaran. Kuda
yang tampil dalam pertandingan harus melakukan registrasi dan sekaligus
mengambil nomor ban (kotak pelepasan). Para joki mengirng kudanya menuju juri
yang bertugas memeriksa kuda dan kesiapan joki untuk menjaga adanya kecurangan
dalam perlombaan. Kuda dan joki yang telah mengalami pemeriksaan langsung
menuju kotak pelepasan sesuai dengan nomor urut ban (kotak pelepasan) yang
didapat dari registrasi. Kuda dan joki bersiap untuk berlari sekencangnya
setelah mendengar suara peluit dari juri garis. Seperti halnya main bola, main
jaran juga menggunakan sistem gugur dalam menentukan sang juara. Pada babak
pertama dinamakan babak guger (gugur) pada babak ini kuda berusaha untuk menuju
babak penentu hingga sampai babak final.
4.
Barapan Kebo
Gambar 5.1 Tradisi Barapan Kebo
(Sumber: http://assets.kompasiana.com/statics/crawl/556488600423bd9b5f8b4568.jpeg)
Barapan
kebo adalah event tradisional para sandro, Joki dan Kerbau terbagus saat tiba
musim tanam sumbawa. Tradisi Barapan Kebo tidak hanya diselenggarakan di
Pamulung akan tetapi eksis juga di Desa Moyo Hulu, Desa Senampar, Desa Poto,
Desa Lengas, Desa Batu Bangka, Desa Maronge hingga Desa Utan sebagai event
budaya khas Sumbawa. Barapan Kebo atau Karapan Kerbau ala Sumbawa ini
diselenggarakan pada awal musim tanam padi. Lokasi atau arena Barapan Kebo
adalah sawah yang telah basah atau sudah digenangi air sebatas lutut. Perlakuan
pemilik kerbau jargon Barapan Kebo sama seperti perlakuan audisi Main Jaran. Kerbaukerbau
peserta dikumpulkan 3 hari atau 4 hari sebelum event budaya ini digelar, untuk
diukur tinggi dan usianya. Hal ini dimaksudkan, agar dapat ditentukan dalam
kelas apa kerbaukerbau tersebut dapat dilombahkan. Durasi atau lamanya event
adalah ditentukan dari seberapa banyak jargon Kerbau yang ikut dalam event
budaya Barapan Kebo.
Teknis
pelaksanaan Barapan Kebo, umumnya dilaksanakan di atas hamparan sawah
berlumpur, dengan lintasa sepanjang sekitar 40 meter. Setiap pasangan kerbau
yang diikutsertakan harus didaftarkan ke panitia penyelenggara untuk dicatat
nama kerbau, pemilik, dan asalnya, guna menentukan kelas kerbau yang biasanya
terdiri dari 8 kelas berdasarkan usia.
Peserta yang terdiri dari dua ekor
kerbau jantan yang sama usianya, dipasangkan dengan “Noga” (batang kayu
sepanjang sekitar 2 meter yang diikatkan di tengkuk kedua kerbau). Di tengah
Noga digantungkan “Kareng” (rangkaian kayu berbentuk sama kaki dengan palang
ditengahnya sebagai pijakan kaki Joki). Kemudian untuk memacu dan mengendalikan
laju larinya kerbau, maka Joki dilengkapi dengan tongkat kecil yang dihiasi
dengan bulu-bulu kerbau yang disebut “Mangkar”. Disamping perlengkapan wajib
tersebut, para pemilik kerbau bisanya menambahkan berbagai macam aksesoris, atau
hiasan di kepala kerbau untuk menambah kemegahan kerbau balap.
Kerbau yang berhasil meraih predikat
juara pada masing-masing kelas, adalah pasangan kerbau yang tercepat
menjatuhkan, atau melintasi “Saka”, sebuah tongkat dari kayu khusus yang telah
dimanterai oleh “Sandro” (Dukun), agar kerbau takut mendekati, atau
melintasinya. “Saka berfungsi sebagai titik finish, dan apabila tidak ada
satupun pasangan kerbau yang mampu melintasi, atau menjatuhkan Saka, maka dalam
peraturan permainan, semua hadiah yang telah disediakan panitia akan diambil
oleh Sandro,” ucap Syamsul.Apakah rombongan Syamsul juga menyertakan Sandro?
“Tentu saja, dalam perlombaanBarapan Kebo ini tidak bisa dilepaskan dari unsur
magis, yaitu pertarungan kebatinan antara Sandro Saka dengan Sandro Kerbau.
“Pasangan kerbau tercepat dan tepat mengenai tongkat (Saka) yang Jokinya tidak
terjatuh, akan menjadi pemenang lomba dalam masing-masing kelas. Sedangkan Joki
yang berhasil menjatuhkan Saka, bisanya mereka akan “Ngumang” (menari sambil mengacungkan
Mangkar) di depan penonton sambil meneriakkan “Lawas” (syair berbahasa
Samawa),” jelas Syamsul.
Berapa harga kerbau juara? “Mahal
sekali mas, lihat saja itu pasangan kerbau bernama “Bintang Anugerah” dan
“Baret Merah” yang berasal dari Telaga Bertong (KSB), karena sering juara,
masing-masing harganya mencapai Rp 150 juta hingga Rp 130 juta. Kemudian ada
lagi pasangan kerbau bernama “Putera Toraja“ dari Moyo Utara (Sumbawa) itu,
harganya sekarang bahkan mencapai Rp 250 juta,” beber Syamsul seraya menunjuk
pasangan kerbau dimaksud.
Sungguh siapa bakal menyangka, tradisi
yanga awalnya merupakan permainan para petani yang sedang membajak sawahnya di
musim penghujan untuk persiapan musim tanam padi. Ternyata kini menjelma
menjadi ajang paling bergengsi, bahkan harga sepasang kerbau jawara naik
beberapa kali lipat sekaligus menjadi kebanggaan tersendiri bagi para
pemiliknya.
D. Kesimpulan
Dari
uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa kebudayaan itu merupakan bentuk dan
kreasi dari masyarakat dari penduduk tersebut, dimana memiliki ciri-ciri khas
tentang kebudayaan tersebut. Ada pun kebudayaan – kebudayaan tersebut sudah
sejak lama dikenal dan dilakukan sehingga telah menjadi suatu tradisi yang
dilakukan secara turun-temurun dikalangan masyarakatnya, dan dari kebudayaan
tersebut patut bisa di jaga dan di lestarikan oleh masyarakat daerah itu
sendiri.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
daerah Nusa Tenggara Barat memiliki beraneka ragam kebudayaan. Seperti halnya
dengan Suku Sumbawa atau Tau Samawa, Mulai dari upacara adatnya, dan tradisi yg
melekat pada masyarakatnya.
Oleh karena itu sungguh
sangat disayangkan apabila para generasi penerus bangsa tidak mengetahui
tentang kebudayaan daerah ini. Semoga suku budaya di daerah Nusa Tengggara
Barat ini tidak pudar.